Rabu, 14 Juni 2017

DOA KEMERDEKAAN



KH. A. Mustofa Bisri:

Bismillahirrahmaanirrahiim.
Ya Allah ya Tuhan kami,
Wahai Keindahan yang menciptakan sendiri segala yang indah,
Wahai Pencipta yang melimpahkan sendiri segala anugerah
Wahai Maha Pemurah yang telah menganugerahi
kami negeri sangat indah dan bangsa yang menyukai keindahan,
Ya Allah yang telah memberi kami kemerdekaan yang indah,
Demi nama-nama agungMu yang maha indah
Demi sifat-sifat suciMu yang maha indah
Demi ciptaan-ciptaanMu yang serba indah
Anugerahilah kami, pemimpin-pemimpin kami, dan bangsa kami
kepekaan menangkap dan mensyukuri keindahan anugerahMu.
Keindahan merdeka dan kemerdekaan
Keindahan hidup dan kehidupan
Keindahan manusia dan kemanusiaan
Keindahan kerja dan pekerjaan
Keindahan sederhana dan kesederhanaan
Keindahan kasih sayang dan saling menyayang
Keindahan kebijaksanaan dan keadilan
Keindahan rasa malu dan tahu diri
Keindahan hak dan kerendahan hati
Keindahan tanggung jawab dan harga diri
Anugerahilah kami, pemimpin-pemimpin kami, dan bangsa kami
kemampuan mensyukuri nikmat anugerahMu
dalam sikap-sikap indah yang Engkau ridlai
Selamatkanlah jiwa-jiwa kami
dari noda-noda yang mencoreng keindahan martabat kami
Pimpinlah kami, pemimpin-pemimpin kami, dan bangsa kami
ke jalan indah menuju cita-cita indah kemerdekaan kami
Kuatkanlah lahir batin kami
untuk melawan godaan keindahan-keindahan imitasi
yang menyeret diri-diri kami dari keindahan sejati
kemanusiaan dan kemerdekaan kami
Merdekakanlah kami dari belenggu penjajahan apa saja
selain penjajahanMu
termasuk penjajahan diri kami sendiri
Kokohkanlah jiwa raga kami
untuk menjaga keindahan negeri kami.
Ya Malikal Mulki Ya Allah yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa
Jangan kuasakan atas kami --karena dosa-dosa kami--
penguasa-penguasa yang tak takut kepadaMu
dan tak mempunyai belas kasihan kepada kami.
Anugerahilah bangsa kami pemimpin yang hatinya
penuh dengan keindahan cahaya kasihsayangMu
sehingga kasihsayangnya melimpahruahi rakyatnya
Jangan Engkau berikan kepada kami pemimpin
Yang merupakan isyarat kemurkaanMu atas bangsa kami
Wahai Maha Cahya di atas segala cahya
Pancarkanlah cahyaMu di mata dan pandangan kami
Pancarkanlah cahyaMu di telinga dan pendengaran kami
Pancarkanlah cahyaMu di mulut dan perkataan kami
Pancarkanlah cahyaMu di hati dan keyakinan kami
Pancarkanlah cahyaMu di pikiran dan sikap kami
Pancarkanlah cahyaMu di kanan dan kiri kami
Pancarkanlah cahyaMu di atas dan bawah kami
Pancarkanlah cahyaMu di dalam diri kami
Pancarkanlah cahyaMu, ya Maha Cahya
Agar kami dapat menangkap keindahan ciptaanMu dan meresapinya
dapat menangkap keindahan anugerahMu dan mensyukurinya
Agar kami dapat menangkap keindahan jalan lurusMu dan menurutinya
dapat menangkap keburukan jalan sesat setan dan menghindarinya
Pancarkanlah cahyaMu, ya Maha Cahya
Agar kami dapat menangkap keindahan kebenaran dan mengikutinya
dapat menangkap keburukan kebatilan dan menjauhinya
Agar kami dapat menangkap keindahan kejujuran dan menyerapnya
dapat menangkap keburukan kebohongan dan mewaspadainya
Pancarkanlah cahyaMu, ya Maha Cahya
Sirnakan dan jangan sisakan sekelumit pun kegelapan
di batin kami.
Ya Maha Cahya di atas segala cahya
Jangan biarkan sirik dan dengki
hasut dan benci
ujub dan takabur
serakah dan kejam
kebencian dan dendam
dusta dan kemunafikan
gila dunia dan memuja diri
lupa akherat dan takut mati
serta bayang-bayang hitam lainnya
menutup pandangan mata-batin kami
dari keindahan wajahMu.
menghalangi kami
mendapatkan kasihMu
menghambat sampai kami
kepadaMu.
Ya Allah ya Tuhan yang Maha Pengampun
Ampunilah dosa-dosa kami
Dosa-dosa para pemimpin dan bangsa kami
Ya Allah ya Tuhan kami yang Maha Rahman dan Rahim,
Rahmatilah negeri dan bangsa kami
Merdekakanlah kami dan kabulkanlah doa kami.
Amin.


Sabtu, 20 Mei 2017

Ibu Ajari Anakmu Menanak Nasib

Pada suatu senja, di kala mata ibu mulai ciut dan mengerut, mataku terpenjara di dalamnya. Di waktu petang, saat mata ibu mulai berbintang-bintang, aku menjadi kunang-kunang malang yang melayang. Saat subuh, ketika mata ibu mulai memanah harapan, aku menjadi layu dan tertusuk-tusuk cahayanya. mata bapak nun jauh di sana, menembus fatamorgana, menyayat akal dan alamat hatiku. Tubuh mulai tak berdaya, memikul doa dan harapan papa, hingga papalah gerak lakuku yang kaku menggenggam bisu mulut ini dari kata-kata yang tak bertuan.

Betapa tidak dan betapa iya diri ini menjadi mata mereka, gerak mereka. Lenyap keinginan yang tak sanggup ku mentuaninya. Oh gejolak kata, di mana kau dalam diriku yang menghilang?. Oh gelora gerak, di mana aku dalam dirimu yang menghilangkan diri?. Selidik kusidik mencari diri kita yang tak mampu tertaklukkan oleh kalimat rindu, mungkin kau ada?.

Atau aku yang tak sadar melupa pada luka-luka kalian yang tetap terbawa maju. Aku yang lalai pada keringat-keringat kalian yang menyirami bumi-bumi ini. Aku yang dzalim pada air mata kalian, yang tertumpah karena sifat kekanak-kanakkanku. Aku yang mungkin jika pantas dikutuk, kutuklah aku menjadi surgamu, biar bisa kalian tempati di kala letih dan lelah tua kalian. Jangan kalian kutuk aku menjadi nerakamu, yang menambah beban dalam tua kalian. bagaimanapun, aku tak mampu mengembalikan kebaikan kalian beserta bunga-bunganya. Kini, kunanti ampunan Tuhan dengan lega. Kini, kunanti sapaan kekasih Tuhan dengan senyuman. Tak tahu apakah aku masih pantas menerimanya, tetapi jika bukan pada mereka, pada siapa lagi kulabuhkan hati dan akal ini.


                                                                                                   Di Bilik Nyawa, 20 Mei 2017

Kamis, 23 Februari 2017

PENGANGGURAN



Tunawisma, adalah idiom yang mengatakan bahwa ada ‘gembel’, ‘pengangguran’, ‘gelandangan’, dan ‘sampah masyarakat’, benar begitu? Kalo di perkotaan yang banyak membutuhkan tenaga kerja dan sibuk, itu hal yang wajar dikatakan seperti itu – manusia yang keluar dari konteks sibuk bekerja dan berkarya – namun, jika di ‘desa’ ada ‘pengangguran’ itu pertanyaan besar? Apalagi seorang lulusan universitas. Bisa jadi dia ‘gengsi’ menjadi masyarakat desa? Apabila umumnya bertani, mengolah tanah sendiri (kebun atau sawah) atau menjadi buruhnya pemilik tanah, mau tidak mau ia harus menjadi salah satu dari mereka, bukan?
Dan sistem kekerabatan yang begitu kental menjadi salah satu jalan untuk menjadi relasi dalam bekerja. Umur 25 tahun adalah pemuda-pemudi yang sudah seharusnya menjalani kekeluargaan. Ia lulus kuliah tanpa nyambi kerja sudah menginjak umur 27 tahun, minimnya skil dalam bermasyarakat dan berimprovisasi akan kreatifitas bekerja dan bekarya merupakan ‘hantu’ yang menakutkan. Kalo mencukupi dirinya sendiri bisa baik-baik saja, tetapi ia mempuyai kewajiban menjadi ‘manusia sosial’, dengan diri sendiri, keluarga, kerabat, tetangga, dan pemerintahan. Ia lagi fokus dengan ‘kepenganggurannya’, dengan prinsip tidak mengganggu yang lain dan menyalahi lainnya. Individu yang mendekati egois, itu bukan ‘nafas kehidupan’ desa.
Biasanya, jika ‘belum menikah’ ia belum dikenai ‘ikatan perjanjian tak tertulis’ dalam masyarakat seperti, kondangan, muyen, mengurus kematian, dan sebagainya, namun mempunyai andil menjadi pembantu (pelayan atau sukarelawan) jika ada suatu hajatan di masyarakat khususnya dengan kerabat dekatnya. Kalo tidak begitu, biasanya merantau menjadi tradisi pemuda desa. Jika ia tidak mempunyai ‘modal lahan’ dan ‘modal uang’ untuk menjadi syarat atau alat untuk ber-tetekbengek. Semacam itu juga untuk interaksi dengan sepupu, adik-adik, keponakan yang statusnya mereka masih sekolah, bahasa lumrahnya adalah ‘ngasih sangu’ buat jajan mereka. Sebab dulu orang tua mereka juga melakukan hal semacam itu pada kita ketika kita masih kanak-kanak.
Pangangguran ini untuk melakukan semacam itu ‘materi’ berupa ‘uang’ mungkin sangat sulit, jika ia juga ‘pemuda boros’. Lebih besar pasak daripada tiang. Ditambah ‘malas’ membantu kerabat, dalam hal merawat lahan atau rumah – modal tanaga dan keikhlasan – tanpa bergaji merupakan ‘tabungan’ masa tua. Juga termasuk menjadi tempat kita menambah keahlian kolektif. Kita sedang membicarakn ‘pemuda’ – jejaka desa, bukan ‘pemudi’ – perawan desa – yang biasanya hanya menunggu pinangan seorang yang berani dan membuat tertarik ia untuk bersama berkeluarga memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing. Skill dan ketrampilan pemuda menjadi modal utama untuk menarik ‘pemudi desa’, baik dalam segi masyarakat yang hubungannya vertikal maupun horizontal – kesolehan social dan kesolehan individu – untuk menjamin ketentramannya.
Kenapa hanya kesadaran akal bukan kesadaran real? Cuma sadar tetapi tidak teraplikasikan dalam kenyataan. Ah, kenapa begini? Maaf Tuhan, saya belum mampu menjadi apa yang Engkau sukai, masih belum mampu bersyukur sebaik-baikya syukur, masih belum mampu bersabar sebaik-baiknya sabar. Assalamu ‘alaika ya makarimal akhlak, ngapunten tansah ngisin-ngisinke panjenengan 
10 Maulud 1438/ 10 Desember 201

AKU



“Kau adalah kau dan aku adalah aku”, begitu jawabnya beberapa kali sebelum, “iya, aku adalah salah satu makhluk ciptaanMu”. Dan sebelum dunia ini dimasuki oleh si penjawab, “iya, Engkaulah Sang Pencipta dan Yang Menguasaiku”, ia bermilyar tahun dikelolah oleh penjawab pertama. Ada yang menamakan si penjawab pertama adalah ‘nafs’ dan penjawab kedua ialah ‘akal’. Semua ciptaan Tuhan yang tidak diliputi oleh ‘nafs’ adalah “keindahan”. Ambil contoh, ‘bangsa Jin’ dan ‘hewan’ semua sepenuhnya terliputi oleh nafs. Selain itu – kecuali manusia –, adalah perwujudan dari akal dan untuk diakali (diproses oleh akal dan membantu akal), seperti langit, bumi, dan yang ada di antaranya – menurut penulis semuanya adalah keindahan. Dan manusia makhluk yang terliputi kedua penjawab di atas, ia akan condong dan mengarah ke mana?.
Penulis mempunyai dua belas anak ayam yang ditinggal mati oleh induknya setelah berumur satu bulan kurang sedikit. Ada tiga kakaknya, yang dua – jantan dan betina – berumur sekitar satu setengah tahun, sedang yang satunya berumur dua tahun – ia sudah bisa berkencan dengan Jago dan pejantan-pejantannya, hingga bertelor dan mengengkraminya. Kedua belas anak ayam itu yang belum mempunyai ekor, setelah mengalami seleksi alam berlomba-lomba dalam pengembangan nafsu mereka, kini tersisa dua ekor. Sayang sekali, penulis tidak mengasramakan (mengandang; kurungan tersendiri) mereka, mereka harus bersaing hidup dengan kakak-kakaknya dan ayam tetangga yang menganggapnya ‘junior asing’ yang siap di-pathuk dengan paruh dan di-pendhel cakar mereka jika berani berebut makan dan daerah kekuasaan. Hmm, mereka tidak dapat melawan selain menghindar, dan tetapi terkadang masih nekat berebut makan meskipun ter-pathuk dan ter-pendhel. Ternyata, induk ayam yang sudah tiada di atas, penganut faham single parent, dan itu hampir semua induk.
Kalo jasadiyyah, atau indrawi keindahan terwujud dalam penglihatan, pendengaran, dan perasa, perbuatan. Dulu pernah sedikit dapat selentingan (infomasi) bahwa, jika hewan condongnya ke ‘insting’nya, kita sedang membahas “ayam”. Mata meraka bisa melihat para malaikat, pendengaran mereka dapat mendengarkan jeritan derita alam barza (derita orang yang sudah mati). Melihat malaikat biasanya yang mereka (sebagian orang) pahami, ketika jago melakukan kongkongan atau berkokok, kukuruyuuuk… dan lain sebagainya – variatif. Terkadang mereka mengalami ketakukan yang tidak kita pahami, muka pucat dan tingkahnya tenang bercampur kalut. Kalo mau bertelor, si induk berpetok-petok, petok.. petok.. petor.. seperti mengabarkan ada ‘keganjilan’, gelisah dan membuat gaduh suasana sekitarnya. Maaf, sekali lagi, penulis tidak membahas ayam petelor; ayam hutan/liar; ayam petarung; dan ayam potong, tetapi ayam peliharan ibu penulis yang kebetulan membantu memelihara. Bunyi-bunyian mereka adalah mutawatir, dari jaman dulu sampai sekarang, ya begitu-begitu – mungkin ada yang mau mengamati, tanpa campur tangan manusia. Oh, ya.. tahun 2017 ini, jika menurut kalender orang Tionghoa adalah Tahun Ayam.
Sudah dulu ah, aku bukan dokter hewan, apalagi pengamat hewan. Hmm, kepikiran dan untuk menambah koleksi bacaan pribadi. Aku juga tidak tahu, kenapa orang-orang barat di film-film, chiken (dengan bergaya tangan ditekuk dan mengomel kokok petok-kokok petok sambil mengembang dan menciutkan ketiaknya) atau apalah istilahnya untuk menghinakan orang lain. Dulu juga ada istilah ‘ayam kampus’ (cewek panggilan), juga ada peribahasa: “seperti anak ayam yang ditinggalkan sang induk”. Kalo “dongeng” anak-anak, konon, dulu ayam bisa terbang – karena mempunyai ‘jarum emas’ alat penyulam bulu-bulunya – tetapi, tercuri oleh burung Elang, dan sampai sekarang keturunan ayam tidak bisa terbang. Jarumnya tidak terjatuh dalam sekam, tetapi di tanah, sehingga mereka sampai sekarang suka mengeker-eker tanah, karena mencarinya. Tidak semua yang keluar dari silet ayam tembelek, ada telor. Karena silet yang hanya mengeluarkan tembelek adalah Jago. Dulu juga ada kematian masal ayam, dengan adanya virus “flu burung”.
Di Rumah, 22/02/2017
Penulis  

DERAP DEREPER



Setiap tahun para petani jika menanam padi, akan mengalami dua kali panen. Jika musingnya adalah musim penghujan. Di dalam panen padi yang bersamaan itu, ada beberapa orang yang tidak mempunyai sawah ikut nimbrung berpanen ria – meskipun terkadang harus menebalkan telinga dari sengatan mulut pemilik sawah. Siapa mereka? Mereka adalah ndereper dan ngasaker – golongan yang pertama (ndereper) adalah mereka yang diajak secara resmi oleh si empu untuk membantu memanen; yang kedua, mereka yang datang dari berbagai daerah untuk mengambil sisa-sisa dari panen (biasanya ibu-ibu) yang tidak begitu diprioritaskan oleh pemilik. Para ngasaker biasanya berinisiatif membawa barang dagangan yang bisa dinikmati di sawah – yang ini melakukan “barter” (‘barang dagangan’ dengan ‘gabah’).
Ndereper lelaki mereka melakukan tugas nyerit (memotong damen “pohon padi”, memasukan ke alat pemisah gabah “padi yang berkulit”, dan mengangkati “ngelangsir”­ – 50 kg. lebih – ke tempat pemilik setelah masuk dalam karung. Para lelaki biasanya mendapatkan satu karung, ibu-ibu mendapat setengan karung, sedang sisanya menjadi milik si empunya. Kebanyakkan ndereper adalah para kerabat dekat dan tetangga dekat pemilik. Si pemilik menyediakan pembekalan untuk mereka yang membantu, sedangakn ngasaker membawa sendiri bekalnya untuk mengganjal perut masing-masing. Meskipun terkadang ditawari oleh pemilik sawah – biasalah basa-basi orang jawa – namun, menolak dengan senyum sopan. Sedikit tanya-tanya asal pe-ngasak dan bercerita ngalor-ngidul menambah keharmonisan di terik panasnya matahari. Penulis pernah mengikuti salah satu tetangga dan kerabat, dan lempoh “terkapar”, padahal mereka, baik yang bapak-bapak maupun yang ibu-ibu lelah-letih bumbu penyedap hidupnya. Dasar aku pengeluh. Gatal-gatal dan perih jika menempel ke damen dan gabah, karena belum terbiasa. Tidak mungkin habis dimakan sendiri, terjual untuk mereka-meraka di sana-sini yang membutuhkan.
Hasil dari berbagai aktifitas tersebut, selain dijual, adalah untuk kebutuhan sehari-hari – makan, biaya sekolah anak, dan biaya lain-lain – , dan untuk sedekah kegiatan di desa – kerabat nikahan, kematian, melahirkan, selamatan, ngirim arwah, dan hajatan lain sebagainya. Sudah menjadi adat setempat, jika bukan petani mereka mengimbangi situasinya dengan memakai isi dompet. Yah, begitulah. Jelasnya ada hal yang tertinggal dalam proses di atas, pengeringan dan penggilingan. Jika penulis melakukan ngepe gabah (pengeringan dengan terik matahari), alih-alih membantu ibuku sendiri yang seperti tidak punya capek mengalahkan penulis dalam gerak. Ketika gabah keluar dari karung ke atas lantai – ataupun apapun yang menjaganya agar tidak ke tanah –, terik mentari memancarinya laksana biji-biji emas yang inah dipandang mata (kalo menyuntek-nyadari karung membuat gunungan-gunungan)  tambah indah. Membolak-balik; menjaga dari serangan ayam-ayam dan ternak sejenisnya yang kelaparan, baik punya sendiri atau tetangga, yang siap mematuk dan menyosor jika kita tidak pintar-pintar menjaganya di terik panas matahari.
Dalam waktu me-ngepe, kelak kita manusia akan ter-epe di terik matahari yang berjarak satu jengkal, dalam hati sedikit berdoa, semoga kita mendapat naungan safaatnya saw., karena kita mengaku-aku menjadi umat yang maaf, penulis sendiri seperti lebih banyak mempermalukan beliau saw. yang bergelar sang karimal akhlak. Itu kalo lagi panas. coba kalo masih dirundung mendung dan hujan, saat panen hujan, dalam karung beberapa hari tanpa panas, bisa-bisa tukul (tumbuh) di karung, lalu menjamur karena tidak segera menjemur, menjadikan jemu hati setiap manusia. Dengan adanya ujian seperti itu, hati-hati dengan tetangga yang dikit-dikit umep alias suka marah, karena penulis pernah kena semprot caci maki sumpah serapahnya, gara-gara persoalan penulis nyantai dalam situasi seperti itu, sedang ia panik – saya cuma dua bagor (karung) dan ia lebih dari delapan bagor. Niat ingin bercanda berubah menjadi gemerungsung-nya hati dan pikiran. Mungkin selain panic, ada faktor lain yang tidak sengaja kulakukan membuatnya menjadi kalap. Untung masih bisa dikondisonalkan. Terima kasih Tuhan.
Gading Klenton, 18/02/2017

Salam Sayang

“Arang Menikahi Berlian”



Siapa Berlian itu, apa bersaudara dengan Mustika dan Zamrud atau Yakut dan Mutiara? Bebatuan yang tertempa beberapa peristiwa alam, menjadikannya mengkilap, membuat mata terpana ketika melihatnya, harganya luar biasa. Arang adalah sisa-sisa dari kayu yang terbakar, yang apabila terkena api lagi ia akan menjadi abu. Kita jelas mafhum, tidaklah sekufu hubungan antara Arang dan Berlian, dipastikan sangat jauh bandingannya hingga mustahil setara. Padahal bentuk mereka berdua sama, timbangannya sama, dan kebetulan keduanya ditemukan dalam grobak sampah oleh seorang Alim Ulama yang hendak membuang sampah, limbah dapur keluarganya. Sang Alim Ulama ini melihat si Arang jatuh di sebelah si Berlian, letak mereka sangat dekat, berjarak dua jari yang sedang ber-pose selayaknya orang mengatakan peace pada yang melihatnya. Di situlah mereka berdua jatuh cinta dan ditemukan oleh Sang Alim Ulama, dan membuat heran perbuatan kedua makhluk itu, belum pernah terbayangkan olehnya pada waktu itu bisa mendapat pengetahuan tentang kisah kasih Arang dan Berlian dalam hidupnya.
Dilihat dari tiga kategori, bibit-bebet- bobot-nya jelas si Arang mendapat keberutungan akan kejadian tersebut. Sedangkan si Berlian tidaklah merasa mempermasalahkan hubungan itu, karena ia wanita yang sholehah. Untuk pandangan umum, Arang, jelas lelaki yang akan membuat kehidupan Berlian tidak  seindah kedudukannya yang tercipta dalam keindahan. Jika cuaca alam ini mendampingi mereka berdua, sudah dipastikan Arang tidaklah bertahan lama melawan panas dan hujan musim kehidupan. Cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya si Berlian sungguh jauh dibanding si Arang, tetapi cinta membutakan mata mereka berdua. Sungguh, Sag Alim Ulama ini tidak tahu ‘amal’ apa yang telah diperbuat si Arang sehingga ia memperoleh cinta Berlian. Padahal beliau mempunyai Zamrud, seorang anak semata wayang yang masih melajang dan terpelajar, dan ada sedikit terbesit dalam hatinya untuk menikahkan anaknya daripada si Arang itu. Apalah daya, “nikmat adalah cobaan, musibah juga cobaan, semoga bukan laknat” mungkin masih bisa dipertimbangkan.
Setelah dibawa kerumah Sang Alim Ulama, mereka berdua bercengkrama selayaknya saling memahami antara satu sama lain dengan si empunya rumah. Pemuda tampan dan berwibawa membawakan minuman dan hidangan ke ruang tamu atas perintah ayahnya untuk tamu mereka. Kemudian ayahnya memperkenalkan tamunya pada anaknya, dan memperintahkan untuk ikut nimbrung dengan mereka, karena usia mereka tidak jauh beda. Seakrab mungkin mereka bertukar pengalaman seperti layaknya keluarga sendiri, hingga tidak sengaja si Arang menanyakan calon pendampingnya Zamrud. Ia pun menjawab dengan tidak meninggalkan gaya khas canda pemuda, “carikan dong! haha” sambil tertawa melepas penat di kepala jika ditanya masalah privasi. “oh iya, kalian sudah bekerja belum?” balik Zamrud menggoda pemuda pemudi yang sedang dimabuk cinta. Berlian tersenyum, Arang menjawab dengan gaya gentle, jelas ia sedang melakukan manuver kejantanan di zona kehormatan seorang lelaki, “belum, dan akan segera. Insyaallah.”. “haha, santai di perusahaan ku masih membutuhkan tambahan karyawan untuk laki-laki semangat”. “untuk Berlian, aku ada kenalan cewek, Kumala namanya, yang mungkin bisa membantu, besok kalo senggang bisa main ke kantornya. Bilang saja, temannya Zamrud! Pasti ia paham.”, dengan gaya santainya yang cool menghantarkan pencerahan pada kekalutan hati kami yang tersembunyi. 28 11 2016