Kamis, 02 Februari 2012

GODAAN CALON PENGHAFAL AL-QUR'AN


Setiap jalan menuju kebaikan mesti dipenuhi “duri” yang menghalangi “pejalan kaki” untuk sampai pada tujuan. Allah swt secara eksplisit menyatakan bahwa siapa saja yang ingin meraih derajat keberuntungan (ashabul maimanah), dia dipersyaratkan untuk mampu melewati “al-‘aqabah (jalan mendaki)”. Demikian juga halnya dengan kegiatan menghafal al-Quran, tidak alfa dari godaan tersebut.

Menghafal al-Quran merupakan aktifitas yang sungguh sangat mulia, baik di hadapan Allah maupun dalam pandangan manusia. Sedemikian banyak waktu yang tercurah, konsentrasi pikiran yang terpusat, bahkan tenaga dan biaya juga ikut terkuras. Semua diniatkan untuk gapai ridlo Allah, tanpa ada hasrat sedikitpun menjadikannya sebagai sumber penghasilan ataupun sanjungan. Di balik kilau cahaya kemuliaan tersebut, tersembur pula serabut-serabut duri “godaan” yang senantiasa menghadang sewaktu-waktu. Jadi, siapapun yang pernah menjalani proses mengahafal al-Quran bisa dipastikan pernah merasakan pahitnya cobaan dan manisnya godaan.

Tentu, jenis cobaan dan godaan tiap-tiap orang berbeda. Adapun kemampuan menghalau godaan itu sangat tergantung pada tingkat ketulusan niat dan kedalaman iman yang terpatri di hati. Cobaan dan godaan calon penghafal al-Quran muncul dari dua arah; eksternal dan internal. Di samping menjadi faktor pendukung kegiatan menghafal, Orangtua atau keluarga seringkali juga menjadi faktor penghambat. Si santri sebelum berangkat untuk menghafal al-Quran acapkali orangtua atau keluarga mengatakan: “nak, mumpung umurmu masih muda teruskan sekolahmu saja hingga ke perguruan tinggi, agar mudah cari pekerjaan. Nak, waktu tiga atau empat tahun untuk menghafal al-Quran itu cukup lama dan memakan biaya banyak, namun tidak ada ijazah yang bisa digunakan melamar pekerjaan, bagaimana nasib masa depanmu kelak? Nak, menghafal al-Quran itu usaha yang berat dan lebih berat lagi menjaganya, kenapa kamu kok cari sesuatu yang susah, untuk apa?”. Mendengar ucapan demikian, si santri biasanya mentalnya langsung drop (anjlok) lalu mulai bimbang dan akhirnya tidak jadi menghafal. Inilah contoh cobaan eksternal yang bisa mengubur “cita-cita suci” itu.

Tak kalah hebatnya, cobaan internal juga mampu membuat si santri terperosok ke jurang kegagalan. Godaan “lawan jenis” menempati urutan pertama dari cobaan-cobaan internal yang ada. Semenjak saya membuka layanan konsultasi tahfidz online di blog cahaya qurani dua tahun lalu, 80% keluhan kesulitan menghafal dari para penanya adalah godaan asmara, terutama setelah hafalan mereka sampai pada sepertiga terakhir (juz 20 keatas).

Memang agak misterius, apakah godaan itu satu paket (built-in) dengan al-Quran yang akan dihafal, ataukah itu gejala pubertas biasa yang dialami hampir semua remaja usia dua puluhan tahun? Ibarat virus, godaan asmara ini mampu menggerogoti konsentrasi dan keseriusan hafalan. Betul sekali sebuah ungkapan al-Quran, bahwa Allah tidak akan memberikan dua hati sekaligus dalam tubuh satu orang (min qalbaini fi jaufih). Menghafal al-Quran tergolong “mega proyek” lantaran ia butuh energi dan perhatian yang luar biasa. Ada 6000-an ayat (77436 kata) yang akan ditransfer ke memori otak, di sini diperlukan ketangguhan fisik dan psikis, serta konsistensi dalam kurun waktu 1-3 tahun. 

Umumnya, otak kita mampu mentransfer satu halaman al-Quran dalam waktu satu jam dengan kondisi kesehatan fit dan full konsentrasi. Namun, jika konsentrasi menurun 20-30% saja, maka waktu yang dibutuhkannya menjadi dua kali lipat alias dua jam. Lalu bagaimana dengan konsentrasi yang hanya tersisa 30%? Mungkin butuh waktu satu minggu untuk menghafal satu halaman saja.

Biasanya santri yang terinfeksi virus asmara saat menghafal, adalah santri yang “mudzabdzab (cita-citanya mengambang)” dan santri yang “ikut-ikutan” tanpa ada landasan pemikiran yang kokoh. Ibarat sapu lidi, yang ikatannya kuat akan susah dimasuki lidi lagi. Pikiran yang kurang fokus, akan menyisakan ruang-ruang kosong dalam otak dan itu rentan kemasukan “virus asmara”, lalu ia mengendap dan mengakar kuat dalam sel-sel syaraf. Tidak salah memang jika alm. Meggy Z mendendangkan: “rasa cinta pasti ada pada makhluk yang bernyawa”. Layaknya seorang tamu, kadang cinta itu hanya mampir sesaat saja dalam bayangan. Tapi bila pemiliknya betah berlama-lama dengan tamu itu, semakin susah pulang tamu itu, bahkan ikut tinggal bersama.

Hidup itu sebuah pilihan, masing-masing ada konsekwensinya. Keputusan kita untuk menghafal al-Quran mengandung beberapa konsekwensi, diantaranya: kurang tidur, waktu santai begitu sempit, sering pusing, studi lanjut mungkin terhenti. Tetapi, di balik itu semua, yakinlah bahwa otak kita akan semakin cerdas, sikap kita semakin bijak, masa depan insyaallah dicukupi oleh Allah. Sebaliknya, hidup glamour dan menuruti hawa nafsu di waktu muda mengandung konsekwensi hidup yang sempit, mudah stress (ma’isyatan dlankan). Marilah wahai saudaraku, kembali ke starting point (khittah) dimana niat telah bulat dan rencana sudah matang untuk menghafal. Rel harapan yang mulai agak belok segera diluruskan agar kereta sukses melaju cepat menuju cita-cita suci nan abadi.

Dalam beberapa kasus, santri penghafal al-Quran itu mempunyai daya pikat dan memiliki pusaran magnet karisma yang kuat, sehingga “permintaan” untuk menjadi pendamping hidup sering melimpah. Kemana saja orang berebut untuk mendapatkan sang idola ini. Sisi lain, proses menghafalnya belum tuntas dan upaya pendalaman ulumul quran-nya juga belum tersentuh. Tawaran menggiurkan ini biasanya datang dari keluarga pesantren, pemilik perusahaan, saudagar kaya dll. Akibatnya, beberapa tunas harapan ini rela dipetik kendati hafalan dan ilmunya masih prematur. Walhasil, harapan untuk menjadi penghafal al-Quran terkubur pelan-pelan lalu hanyut menghilang bersama waktu. Seandainya godaan tersebut dituruti, kita sesungguhnya pada saat itu telah terjebak nafsu dengan berdalih mengikuti irama takdir, padahal masih memungkinkan untuk bersabar sejenak, berupaya maksimal, sebab hal ini menjadi poin tertinggi dalam menapaki tangga kesuksesan hakiki di sisi Allah. Bukankah besarnya upah itu ditentukan oleh besarnya keletihan (al-ajru biqadril kaddi)?
  
Cobaan atau godaan lain yang perlu diwaspadai adalah rasa kurang konfiden (percaya diri). Seakan orang lain begitu cepat dalam menyelesaikan hafalannya atau seakan begitu susah kita melancarkan hafalan dan tidak ada progres sama sekali bahkan hafalannya sering tambal-sulam, timbul-tenggelam, jatuh-bangun. Sekiranya dianggap bahwa hanya kita sendiri yang seperti itu, yakinlah semua orang yang menghafal al-Quran pasti pernah memiliki perasaan “minder” semacam itu. Solusi dari persoalan ini hanya satu, yakni perbanyak muroja’ah apapun yang terjadi, jangan pedulikan “momok” itu, kelak waktulah yang akan menjawab bahwa inilah buah dari kerja kerasmu dulu, nikmati kesuksesan di hari ini, hafalan lancar, hidup makmur, pikiran tenang, keluarga bahagia. Siapapun tahu bahwa hafalan itu berkembang secara abstrak, kelancarannya tidak bisa prediksi dan tidak matematis. Ibarat jalan berpasir, dia akan menjadi rata dan rapi, manakala sering diinjak dan dilewati. Dan ini butuh waktu lama, tidak mungkin diraih secara instan, bim salabim. Semoga tekad yang kuat dan motivasi yang membara mampu menghalau semua cobaan dan godaan di atas, amin. — di Ruang kedamaian.