Senin, 15 April 2013

Area Jilbab



Area Jilbab
Oleh : Legiran

Pengalaman pribadi sahabat saya dan penulis tentang masalah wanita berjilbab, dia bercerita tentang pertanyaan yang dilontarkan oleh penanya pada calon pegawai sebuah koperasi syariah kita sebut saja “Al-Huda”,  saya bermaksud dan menitikberatkan pada “arti”-nya – “petunjuk” dalam bahasa arab. Ketika interview pertama sampai terakhir, calon pegawai tersebut sengaja tidak berjilbab, meskipun ia tahu jika tempat kerja itu basic-nya Islam. Dan pengalaman penulis sendiri ketika Kuliah Praktek Lapangan (KPL) di Pengadilan Agama (PA), yang waktu itu melihat sidang pertama – ada wanita yang mengajukan khuluk “menggugat suami” tanpa mengenakan jilbab. Melihat kesamaan ini, penulis akan menelisik bagaimana pengaplikasian hukum islam dalam suatu lembaga yang berbasis Islam mengenai hukum berjilbab menggunakan perbandingan hukum formal (nasional) dan hukum fiqh (islam) dalam konteks sosial.
Dengan melihat dua contoh diatas, untuk lebih luas lagi, pengalaman sahabat-sahabat yang bersekolah atau kuliah di lembaga berlabel islam. Dimana, para pelajar wanita hanya menggunakan jilbab pada saat di tempat belajar – ketika sudah di luar sekolah atau kampus, mereka memakai pakaian biasa “keseharian” yang lebih “enjoy” (pengakuan mereka) tidak memakai jilbab dan menggantinya dengan pakaian kekinian yang bermodel korean. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Wonosobo – tempat penulis tinggal – namun, di luar khususnya kota besar, seperti Kota Jogja, Jakarta, Semarang, Surabaya dan kota lainnya. Jika kita melihat di kota motropoli, itu sudah lazim, faktanya, di pedesaan pun juga mengalami hal tersebut.
Kunci dasar Islam rahmatan lil’alamin, dengan istilah syariah, hukum fikih, dan hukum adat – hukum yang mengalami revolusi dan evolusi dengan permasalahan yang semakin menyublim ke hal-hal fundamental, lihat “Tradisi Arab di Tengah Indonesia yang Multikultural” yang ditulis oleh Dr. Nur Syam dalam bukunya “Madzhab-Madzhab Antropologi” halaman 203-213. Jika masih tetap menggunakan symbol Islam untuk memaksakan manusia, baik menggunakan system aturan lembaga ataupun menggunakan “charisma”, yang terjadi adalah “keterpaksaan” dan “ketidakrelaan” universal yang “tersudut” dengan kesimpulan “manusia munafik” – padahal itu adalah “kesadaran”. Di dalam bingkai budaya simbolis hal ini menggambarkan adanya “kekosongan sistem nilai bersama” atau common value yang dijadikan pegangan bersama – Dr Nur Syam, tetang membahas masalah “Budaya dan Signifikasi Rekontruksi Upaya Nasional” halaman 197-202
Untuk hukum fikih menanggapi masalah yang kompleks ini, mungkin tawaran Kiai Sahal Kajen dengan mengutip kutipan panjang kitab Syarqawi – salah satu kitab utama mazhab Syafi’I – yang harus memakai “kompleksitas hukum fiqh” – lihat di “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” yang ditulis KH. Abdurraman Wadid. Sejalan dengan ideologi Pancasila yang sila pertama meniadakan “umat islam wajib menjalankan semua syariat agama”.
Kembali pada fenomena “Area Jilbab”, di dalam lembaga itu jika menerapkan peraturan untuk menggunakan jilbab “wajib jilbab” kemudian di luar kelembagaan tidak perduli – hanya akan mengelus dada dan akan menegur dengan sindiran jika sudah di tempat “area jilbab” – apa tidak lebih “munafik lagi” itu namanya? Sedangkan di lain pihak, sebuah perusahaan membuat peraturan larangan mengenakan jilbab “area bebas jilbab” selagi jam kerja, why? Jawabannya, “pindah saja dari perusahaan itu, toh rezeki tidak hanya disitu.” Masya Allah. Ini bukan masalah munafik, bukan? Hukum dewasa ini, jika sudah dikatakan “jahiliyah modern”, berarti kita yang benar-benar “jahil” – tidak bisa menahan sesuatu yang oleh Allah sudah diantisipasi “zina”.
  Menurut saya, jika kita semua dalam bersosial, semua manusia adalah saudara – baik saudara sepersusuan, saudara dekat, dan saudara jauh, yang wajib saling mengasihi “menebarkan salam ‘keselamatan’ pada semua” – yangmana di dalam “hukum aurat” sebatas yang mereka boleh melihatnya – lihat ensklopedia ijmak ulama  (alih bahasa KH Mustofa Bisri dan KH. M Sahal Machfud)  tetang aurat saudara dan mahram halaman 754-755, sedangkan memutus persaudaraan hukumnya “haram”. Dalam pergaulan kekinian, sebenarnya bukan masalah “jilbabnya” tetapi masalah pada “akal dan hati nurani”. Akhlak ideal bab interaksi aurat adalah akhlak yang bisa kita analogikan kita hidup di dunia maya, meskipun syahwat dan hasrat bergejolak, kita tetap tidak bisa memegangnya kecuali sesudah menikah.
“Menyetubuhi istri adalah sama halnya dengan pahalanya sahabat yang membunuh 70 orang kafir ketika berperang pada masa itu” – hadis tentang kisah sahabat yang masih mengasah pedang saat usai fathul mekah. Selain itu, “apa tidak menyenangkan janji Tuhan tetang bidadari surga yang perkamar isinya adalah 70 bidadari.” Masak mau dipertaruhkan hanya dengan “jepitan yang hanya dapat dinikmati belasan menit, umur kita di dunia tidak sampai 70 tahun – jika ada, pastilah jarang.
Akhirnya, kisah pengalaman sahabat saya, ketika interview terakhir ditanyai, “saudari ini tahu kan jika lembaga ini ber-basic?” jawabanya adalah “tangisan” calon pegawai itu tepat di hadapanya. Dan jika di Pengadilan Agama, “besok sidang berikutnya pakai jilbab, ya mbak!” perintah salah satu hakim tua – waktu itu hakimnya ada tiga yang benar-benar menyudutkannya (dilihat dari gelagat respon wanita yang jadi “pendakwa” sang suami sebaliknya malah “terdakwa” oleh hakim sidang).      




Wonosobo, 15 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar