Jumat, 31 Mei 2013

KENTUT IBU



Kentut Ibu
Bismillahirrohmanirrohiim, membuka rahasia dalam rahasia, semoga tidak sia-sia, rehat sebentar. Dapat ‘kentut’ dari orang tua, khususnya ibu menurut saya adalah ‘berkah’ yang tiada terkira. Ibu dapat nikmat sehat, dan kita pun menikmati telinga, hidung, dan senang syukur alhamdulillah. Sangat fantastis dan funny happy jika kita dapat menghayati anugerah Allah Ta’ala yang seperti itu, bukan? Namun, ya jangan berlebihan, maksudnya, jika kentut jangan buat mainan, apalagi buat nasehat nasehatan.
Banyak-banyakin ‘istighfar’ yang berhaluan ‘terharu’ hara huru hura-hura horeee donk deh. Biar kita tidak mabuk dalam ‘pengangguran’ yang mengakibatkan ‘candu’ jika kita tidak hati-hati menyinggapi nikmat Tuhan. Kata teman-teman “jamaah maiyah” yang diimami oleh Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib), syukur yang menghadirkan Tuhan pencipta alam semesta sang penghibur sejati. Subhanallah masya Allah menjadi ‘neraca’ dalam kita menikmati nikmat Tuhan yang begitu agungnya.
Nasehat dari Mbah Mus (KH. Mustofa Bisri) untuk kita tidak berhenti-hentinya belajar belajar ajar mengajar terus menerus. Ya buat kita khususnya, keluarga, dan lebih khusus buat guru-guru kita semua yang tidak semu juga sahabat semua yang membantu hidup kita di dunia ini. Apalagi coba yang mau kita bahas selain – khususnya – ‘kentut ibu’ yang luar biasa itu, baik untuk doa juga buat perenungan ‘hikmah’ yang mesti kita tidak boleh memungkirinya. Jika ada pendapat lain silakan, baik dari kesehatan – dokter – ataupun ‘adab’ kesopanan di lingkungan kita, silakan di musyawarahkan dengan baik-baik jangan “aik-aik hasysih”. Sekian terima kasih, cinta…. Ailopyu puuuuuuuuuuuuuuL.
(dari Aisyah ra, bahwasannya Nabi saw menjenguk salah seorang keluarganya dengan mengusapkan tangan kanannya lalu berdoa)
Artinya : “ya Allah Tuhan semua manusia, hilangkanlah sakit, sembuhkanlah! Engkau Dzat yang menyembuhkan, tidak akan sembuh melainkan disembuhkan oleh-Mu, yaitu sembuh yang tidak meninggalkan bekas penyakit.”
Semoga cepat sembuh dan dapat ibadah lebih giat lagi,. Aaamiiin aman amanah.



Dudukulon, 01 juni 2013
Penulis

Sabtu, 11 Mei 2013

BERCERMIN HATI


MELIHAT TIGA MANUSIA
Oleh Legiran

Drs Ahsin Wijaya, M.Ag, Alhz. Hakimin, MA. M Faisholi, MM. Pak Ahsin yang pandai ber-iqra, namun dalam berdialog dengan saya lebih mengutamakan bahasa tutur yang membaca fenomena sosial baru kesimpulan mengambil perspektif ayat quran – ayat-ayat yang meyangkut masalah sunnatullah kemudian baru diselaraskan dengan ayat quran. Pak Hakimin lebih menekankan pada susunan batu-bata dalam membuat bangunan jika kita ingin belajar ilmu alat – nahwu shorof – untuk mengetahui kitab kuning – saya melihat, beliau memiliki metode yang mengagumkan, masih suka menyusun keindahan lafadz atau huruf bahasa arabnya. Sedangkan Mr Faisholi lebih menekankan pada metode nahwu shorof yang dapat dipakai oleh anak umur tujuh tahun – merujuk pada ahli ilmu quran juga, di IIQ Jakarta oleh K.H. DR. Akhsin Sakho Muhamad Alhafidz, untuk menafsirkan al quran dengan mudah (untuk hal yang intens, beliau menambahkan dengan hadis qudsi).
Setelah berinteraksi dengan beliau-beliau, penulis mengalami hal yang begitu berarti, mereka membuka file-file kepala yang dapat menguatkan argumen (nalar dalam pemahaman pribadi). Jika diambil kesimpulan awal, menurut saya, dalam pemahaman islami harus memenuhi ketentuan tiga hal, yakni Alquran, tassawuf, dan hadis – qudum (memutuskan hukum dengan wara’ “kehati-hatian dalam hukum”), “tassawuf” ditengah sebagai pembijak atau penengah diantara tafsir Alquran dan Alhadis. Jika melihat fenomena sekarang ini, hukum islam hasil “ijtihad” dari para ulama kebanyakan disepelekan oleh generasi sekarang (zaman kekinian) – karena dianggap belum bisa menjawab problematika mereka, padahal menurut saya sudah, jika para ulama islam mau terbuka.
Kembar tetapi beda antara Pak Ahsin dan Mr Faisholi adalah mereka lebih suka mengambil contoh pada tokoh, bedanya, bercermin pada tokoh sufi tekenal (Mr Faisholi) sedangkan Pak Ahsin melihat tokoh pejuang (ayah beliau sendiri juga pejuang saat zaman Belanda sampai PKI). Di rumah Mr Faisholi banyak terpampang gambar para sufi, seperti Habib Lutfi, Abuya Dimyati, Abdurrahman Wahid, Mbah Muntaha Alhafidz dan sebagainya. Beliau sempat menyebut wira’i-nya Sayyidina Ali Karomahu Wajhah, banyak kisah Abuya, Mbah Muntaha, Nabi Musa as, Nabi Khidzir as (jika nabi Khidzir sampai menyebut nama aslinya) dsb. Sedangkan Pak Ahsin – yang berumur tujuh tahun saat zaman PKI – lebih menonjolkan para ulama yang berjuang terjun ke arena tempur dengan keyakinan Allah Ta’ala penolong yang mustahil diganggu gugat oleh makhluk tanpa seizinNya – ayah beliau berdakwa dengan membuat padepokan silat yang ber-asma’ (kejadukan dengan wirid ayat khusus sebagai syarat jadi murid).
Pak Ahsin adalah dekan Fakultas Syariah periode sekarang – 2012-2013 – dan suka menulis, buku beliau yang pernah saya baca adalah Fikih Kesehatan. Pak Hakimin sendiri masih misteri bagi penulis, beliau – baru sekali dalam pertemuan – langsung memarahi saya dengan bercerita konflik pribadi yang pernah dialami – menunjukan lebih ekstrim daripada masalah yang sedang saya hadapi. Mr Faisholi sendiri adalah guru privat english holiday ngefans berat Muhammad Husein bin Thoba Thoba, penghafal quran muda namun sejak remaja sudah banyak mengeyam ilmu tassawuf di pesantren salaf – penulis kurang tahu persisnya, dan saat penulis berkunjung ke dalemnya “rumah” ditertawakan habis-habisan oleh anak beliau yang masih sekolah di play group, disebut ‘pengalamun’ (penghayal) dan ‘ketek’ (monyet atau apa). Terlalu lebay jika harus saya tulis semua, dalam hati memang seperti monyet – yang terlalu banyak memakan makanan, belum sempat dikunyah tetapi disimpan di leher. Ampuni hamba ya Robb. “…Robbanaa laa tuaa khidznaa in nasiinaa aw akhthoknaa…”

Kalibeber, 11 Mei 2013

Penyontek Akhlak