Minggu, 22 September 2013

Spionase Infiltrasi Ruh Alam



Spionase Infiltrasi Ruh Alam
Oleh: Legiran 

Pagi kedua ini yang penulis lakukan ingin hidup sehat, dengan cara tidur awal lalu sepertiga malam bangun, dan ya ternyata bangun namun, tidur lagi. Maklum lah, penulis lagi ingin mencontoh orang-orang yang kuat riyadhah, hehe. Namanya juga anak-anak, yang hidup masih ingin diperhatikan dan dimanja, hmm…ternyata ada spionase alias “pemantau” yang diutus dari beberapa sahabat yang penasaran dengan ‘mulut besar’ penulis, sampai-sampai melakukan semacam infiltrasi yaitu, ‘perembesan’ atau ‘penyusupan’ dalam pori-pori penulis melalui aliran darah – amannya, untuk ‘hati’ kadang-kadang bisa masuk dan kadang-kadang enggak.
Belum lama ini penulis merasa semacam kebobolan ‘akal sehat’ sebab, terlalu jauh masuk dalam perdebatan yang unik dirasakan – bacaannya psikolog dan alam bawah sadar –, seperti apa (?) hmm, semacam ‘canggung’ atau gerogi jika berjalan dan menetap di bumi. Alasannya sepele namun ya masuk akal juga, “kita hidup di atas ‘pemakaman’ para terdahulu” yang tidak bisa kita ingkari, bukan.
Itu penulis alami setelah beberapa kali berziarah ke makam. Hingga penulis harus mengungkapkan ungkapan, “sahabat sejati adalah mereka yang tidak memerlukan nama, namun selalu berbagi” – hiiii seram juga nih, ya semacam dialog dengan hati dan akal. Tapi, ya kita jangan sampai melupakan yang masih bisa dirasakan oleh indra kita dong, hidup normal. Kayak orang gila dong, ya, emang pernah gila, gila cinta – meskipun masih setengah sadar, semacam kesurupan atau ndadi seperti “kuda kepang” dalam kegiatan tradisonal lain di bumi nusantara yang berdialeg dengan alam lain, apa ya.
 Udah dulu, masih harus ngerjakan masalah yang biasa-biasa… yang lebih dibutuhkan daripada ngurusin yang seperti itu – menurut kebanyakan orang, itu bukan urusan kita, sewajarnya saja. Masih dalam proses belajar, masih banyak masalah dunia yang belum selesai. Itu hanya semacam ‘televisi lama’ yang belum sempat diisi efek suara oleh mereka yang mafhum. Hehehe maaf kebanyakan “ngelindur”. Semoga kita semua selalu sehat akalnya, sehat hatinya, dan selalu dijauhkan dari hal-hal yang tidak kuat kita memikulnya. Aamiin ya rabbal’alamin


23 September 2013

Sabtu, 21 September 2013

Hmm Apa Ya?



Hmm Apa Ya?
Oleh: Legiran

Setelah membaca surat al-Hijr dalam al-Qur’an hati merasa tentram, kenapa tidak (?), dalam 99 ayat, ada satu ayat yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (15:09). Wow… bukan basa-basi lagi rupanya Tuhan menjamin kitab yang satu ini, pertanyaannya, kenapa kita masih saja membacanya (?) jawabannya simple, jika bukan kita yang membaca, emang agama lain mau membacanya – sambil ketawa-ketiwi –, umpama mereka membaca, ya gak masalah – toh banyak yang mengakui ‘kebagusan’ bahasa di dalamnya, bukan. 
Sebagai surat cinta dari Tuhan – untuk muslim, jika yang non muslim punya kitab sendiri  – yang di situ diterangkan menjadi surat cintaNya untuk semua makhluk. Kenapa kalimat tadi bertentangan, “untuk muslim” kemudian ditutup “semua makhluk” dan di tengahnya ada “non muslim”. Santai saja, kita baca kitab mereka juga gak dimarahi oleh mereka, “gitu aja repot (!)”, “kata siapa (?)” hehe… indahnya, kebersamaan ini. Bagaimana mereka tidak baca – memakai mereka, sebab penulis juga tidak serajin yang pembaca sangka “rajin iqro’” –, sedangkan bacaan yang lain masih antri di tempatnya masing-masing – maklum suka baca-baca bacaan “komik”.
Aktualisasi bacaan ‘tekstual’ dan ‘kontekstual’ dalam surat cinta (al-Qur’an) kata beliau, KH. Mustofa Bisri – kyai plus budayawan, setahu penulis –, “semacam tamparan bagi para pembacanya” dan jika dikaitkan dengan kontekstualnya, melihat problematika yang ada, kemudian dikaitkan dengannya, hmm. Aduh, lama-lama menjadi sok suci nih penulis, bagaimana sok suci, emang kenyataannya  begitu – dalam kesadaran nalar dewasa sekarang ini. Kembali di surat al-Hijr, yang setelah googling, teman saya bilang bahwa itu nama sebuah gunung di Negeri Samud – hayo daerah mana? Tebak tempat. Dibaca sendiri-sendiri aja ya, bagus kok, entar ada ayat yang menjelaskan bagaimana Tuhan dengan Maha SombongNya melindungi rahasia gaib dan pemberian rezeki untuk semua makhluk.
Jika diperlebar lagi tentang mufasir – ahli tafsir dari zaman dulu sampai sekarang – masih saja ada penemuan-penemuan yang ada dan keluar jika benar-benar ditelaah dan berani mempublikasikan. Mereka para mufasir – sebagaimana yang sedikit penulis pelajari – harus ada kesepakatan bersama untuk menjaga agar tidak menjauh dari tujuan surat cinta diturunkan, bukan. Baik ‘pemetaan ayat’, tetang sosial, sains, hukum, dll yang kesemuanya menuju yang namanya “akhlakul karimah” Nabi Muhammad saw. jika di sini tempat kita belajar, ada al-magfurlah KH. Muntaha al-Hafidz. Soalnya, beliau saja masih menganggap belum atau masih jauh dari apa yang disandarkan oleh muslim zaman nabi saw. dan sahabat, yakni gelar “manusia al-Qur’an”, sebagaimana yang dituturkan oleh sayyidinah Aisyah ra.
Udah dulu ya, hmm, entar dimarahi ‘syair tanpa waton’-nya manusia aneh plus presiden aneh, Gus Dur, seperti bait, “koor pinter dongeng, nulis lan maca” (hanya pintar bercerita, menulis, dan membaca). Semoga bisa jadi koreksi bersama, okey… sebagai penutup, qola huwa, “mocoho walau sak ayat” (membacalah walaupun hanya satu ayat). Dan selentingan KH. Umar Zaed, “qulhu ae lek” (al-Ikhlas saja, man). Hmm… maaf jika salah… semoga kita – khususnya yang nyumbang wacana tulisan ini – selalu dalam rahmat dan ampunNya.

Wonosobo, 21 September 2013
Salam


pengetik

Jumat, 13 September 2013

INDONESIA DALAM KETIDAKPASTIAN, “PASTI TIDAK?”



INDONESIA DALAM KETIDAKPASTIAN, “PASTI TIDAK?”
Oleh: Legiran

Hukum dan pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014 mendatang adalah isu miring yang di-nash-kan dalam memori setiap manusia di Indonesia, baik yang ‘aposteriori negaraisme’ ataupun yang ‘apriori negaraisme’ – lima tahun sekali itu terjadi, bahasa ‘necis’-nya, pesta demokrasi. Dalam twitter dan blogger penulis, sudah pernah menulis bahwa saya mendukung KH. A. Mustofa Bisri jadi Presiden RI – hal itu penulis sampaikan karena pernah mimpi demikian, sebab ada akun twitter Trio Macan yang populer menganalisis calon presiden, dan itu pakai bukti otentik – namun, tanggapan beliau malah, “mungkin Anda sedang pusing”. Penulis pun ngeyel sambil balas, “saya kira yang pusing bukan hanya saya.” Dan fenomenal tersebut menjadi perbincangan yang panjang, sampai-sampai PBNU mengadakan Rapat Pleno di kota penulis menetap, Wonosobo, untuk wilayah Jawa Tengah.
“multi-kemungkinan”, ‘kata ngawur’ yang penulis sampaikan kepada akun Sudjiwotejo – Ki Dalang yang sering nongol dengan massanya Presiden Jancuker – yang ternyata mendapat tanggapan ‘bocah caper’ alias anak yang cari perhatian. Kejadian itu berlangsung sebelum puasa kemaren, ya sekitar bulan Juni – kalo nggak salah – yang lalu. Alasan penulis simple, “mbok kalo cari presiden ya yang nggak kedun-yan (gila dunia)”, melihat hidup beliau sezaman dengan Presiden RI keempat yang ber-title  ‘KH’ (Kyai Haji). Masalahnya, mau milih Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) – budayawan plus penulis – , malah ‘urakan’ orangnya, jelas nir-minder penulis. Prediksi penulis, kalo zamannya KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) yang dibubarkan adalah Departemen Sosial, takutnya, Cak Nun (sapaan akrab Emha Ainun Nadjib) malah membubarkan Presiden Republik Indonesia – padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut Demokrasi Presidensial.
Wah, penulis mulai ngawur nih. Khasnya, calon presiden itu harus punya kendaraan partai untuk mengusung mereka, kalo nggak punya kendaraan mbok diajukan secara voting, temanya, Presiden Ad-hock – seperti teater Cak Nun, Nabi Ad-Hock. Nah, inilah yang namanya membicarakan “mantan” itu menyakitkan, sebab – alasan populer di remaja – slogan “mantan buang pada tempatnya” – bergambar tempat sampah, ironis sekali. Ya udah, penulis tinggal cemes aja pakai istilah, “JASMERAH”, Jangan Lupakan Sejarah – coba bayangkan jika Cak Nun dan Gus Mus jadi Presiden dan Wakil Presiden! Penulis jamin, zaman Reformasi Negaraisme “pasti” sedikit reformis lagi dibandingkan reformasi sebelumnya – itu jika kita berdoa semua, dan membantu. Caranya? Jangan tanya penulis, dong, ‘kan belum jadi sarjana, jadi, belum ada “nilai kepastian” yang bertentangan dengan “ketidakpastian”. Kuliahnya jurusan Hukum Islam, Ahwalus Sahsyiah, bagian “perkawinan” namun, masih jomblo.
  Apologi awam anak bodoh seperti penulis ini, mereka berdua itu sudah bosan hidup “kangen pada Sang Pencipta”, kapan lagi kita yang muda-muda punya ‘mimpi indah’ menikmati negara damai – buat referensi dan uswah kami yang mungkin duluan ‘banyak pengkhayal’ alias ‘mayat hidup’ atau zombei (orang bodoh itu ibarat mayat hidup – kata pepatah kuno). Sedangkan masalah “hukum”, ‘kan sudah ada Indonesia Lawyer Club (ILC), ditambah Perguruan Tinggi Hukum dimana-mana sudah banyak meluluskan sarjana hukum, bukan. Dan lagi, di dunia ini tidak hanya ada satu negara, masak kerja keras Gus Dur tidak diteruskan – siapa yang tidak tahu Presiden Pelancong Manca Negara yang hanya sebentar jadi Presiden tapi berani mengata-ngatain atau menyetempel D-PR M-PR seperti Taman Kanak-Kanak (TK). Mereka berdua – menurut penulis – sedang malu-malu kucing, bahasa orang tua, tawadu’ (rendah hati) – dan jika ditanya siapa yang pantas jadi Presiden, mereka serentak jawab, “yang muda”.

Wonosobo, 13 September 2013

Kamis, 05 September 2013

Adil



Adil
Oleh: Abdurrahman Wahid

Salah satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil” (an ta’dilu) maupun keharusan “menegakkan keadilan” (kunu qawwamina bi al-qisthi), berkali-kali dikemukakan dalam kitab suci al Quran.
Dengan meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas, UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara: menegakkan keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau negara lain mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip kemerdekaan itu.
Dengan demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip kemakmuran dan kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. Sikap dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang kemudian dicabut kembali-, menunjukkan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan.
Tentulah kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya. Bukankah dengan demikian, telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari negeri lain ke negeri kita yang memiliki prinsip lain, sesuai dengan ketentuan UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, dengan akibat mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa? Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, adalah bentuk pemerintahan yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dan kebijakan pemerintah, terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan, kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi.
Dengan demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan karena keserakahan beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal bagi diri dan golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus dikoreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jauh lagi menyimpang dari ketentuan UUD 45.
Hendaknya pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan dari UUD 45 itu, sebagai sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45 yang harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau ingin menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka konstitusi harus dirubah melalui pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try Soetrisno, bahwa rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang telah menjadikan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan pemungutan suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.
*****
Dalam memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat bagaimana sejarah Islam menerima hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan identifikasi atas jalannya proses tersebut. Dalam hal ini, penulis mengemukakan sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali (re-interpretasi) atas ajaran-ajaran agama yang tadinya dianggap sebagai sebuah keadaan yang “normal”. Tanpa proses penafsiran ulang itu tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat al-Qur’an. Seperti misalnya “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan Ku-sempurnakan (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai agama” (al-Yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa rodhitu lakum al-Islama diinan). Ayat tersebut menunjukkan Allah menurunkan prinsip-prinsip yang tetap (seperti daging bangkai itu haram), sedangkan hukum-hukum agama (canon laws) terus-menerus mengalami perubahan dalam perinciannya.
Sangat terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluar Berencana (KB), yang bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Dahulu, pembatasan kelahiran sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah campur-tangan manusia dalam hak reproduksi manusia di tangan Tuhan sebagai sang pencipta. Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran (tantzim al-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara, metoda, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB, kondom dan sebagainya. Penggunaan metoda dan alat-alat tersebut sekarang ini, dilakukan karena ada penafsiran kembali (re interpretasi) ayat suci dalam upaya mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control) ke perencanaan keluarga (family planning).
Contoh sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya proses penafsiran ulang tersebut. Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama yang mengalami “kemacetan” dan menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap tempat dan masa“ (al-Islam yasluhu li kulli makanin wa zamanin). Dengan demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad SAW itu pantas dinyatakan sebagai sesuatu yang sempurna, karena hanya pada hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam hal-hal rincian dapat dilakukan penafsiran ulang kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan untuk itu.
*****
Dalam hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara umum, Islam memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa yang dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fa’ i) oleh Allah atas kaum (penduduk sekitar Madinah), maka harus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga terdekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/pengemis dan pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya berputar/beredar di kalangan orang-orang kaya saja di lingkungan kalian”. (Ma Afaa-a Allahu ‘ala rasulihi min ahl al-qurra fa li-Allahi wa li al-rasul wa li dzil al-qurba wa al-yata wa al-masakin wa ibn al sabil, kaila yakuuna dulatan bain al-aghniya minkum).
Konsep mengenai susunan masyarakat seperti dikemukakan oleh ayat suci di atas, menunjukkan dengan jelas watak struktural dari bangunan masyarakat yang dikehendaki Islam, baik yang dicapai melalui perjuangan struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun tidak, haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan Islam saat ini. Jika hal ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan manusia lain (exploitation de l’home par l’home). Jelas, sikap seperti itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan KKN dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian keadilan dalam Islam, baik bersifat struktural atau non-struktural?
Dengan demikian jelaslah, bahwa telah telah terjadi pergeseran pemahaman dan pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata ‘adilu’ atau ‘al-qist’ itu sendiri, lalu ada sementra pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” (social justice) dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi. Kelompok ini, yang menginginkan pendekatan struktural dalam memahami perubahan sosial itu. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan demikian merubah keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya akan muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu “muslim reaksioner”. Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya, bukan?

Jakarta, 20 Mei 2003