Selasa, 23 September 2014

Judul Pos

Kampung Ilusi 2
Mr. L 

Kemudian, mulai lagi memperhalus kalimat. "Kapan?" tanyanya. "itu jawaban, bukan pertanyaan." jawabku. "aku mulai tidak mengenalmu lagi." "iya, sejak kapan aku memperkenalkan diri?" "baik, semoga perkenalan yang tidak kau perkenalkan tidak membuatnya marah." "semoga begitu." Kami sibuk menikmati yang dapat kami nikmati, dia menikmati yang tidak kunikmati begitu juga aku - hanya terkadang, sesekali, berkontinyu, bahkan juga tak tersadari kita bersama menikmati kenikmatan yang sama. 


Kau lagi
Seperti itu
Aku
Iya, siapa lagi
Kau itu
Bagaimana
Selaraskan semampunya

"kabar ia?" seperti biasa. "dia masih seperti dulu." datar. "bolehkah aku bertanya hal yang sama?" "apa?" "apa aku membosankan, bagimu?" "hehe..., aku tidak mau menjawab." "baiklah." kami terdiam, memandangi keindahan yang sudah-sudah. "suara siapa itu?" datang sahabat lama membawa sahabat baru. "hmm, lagi serius sekali kalian." "oh, kamu."

Kabarnya
Mereka
Hmm, kita
Semakin baik saja
Kenapa kau

"kenapa mereka selalu begitu?" "oh, mereka? mereka baik kok. santai saja!" "perkenalkan, yang ini......" "aku Nur Fawais Saudah. terserah mau memanggil apa, yang baik, biar akrab." "dan itu?"

Senja Di kaki Langit.


 Penulis

Selasa, 16 September 2014

Fiktifmu atau Fiktifku



Fiktifmu atau Fiktifku
Mr. L
“Silakan masuk, kawan!”, sambil tersenyum Arai mempersilakan masuk lelaki seumurannya. “sudah lama, tambah berwibawa saja sampean, Kang.” Nada santai dari tamunya itu membuat setengah kaget Arai.  ngapunten, jenengan sinten nggeh?” penasaran. “aku Paijo, Kang.” “Paijo..... hem,”. “iya, Paijo konco kuliahmu. Asem dilalekke.” Agak sewot tamu yang satu ini. Arai merupakan salah satu orang yang terpandang di desanya, maklumlah, ia adalah penerus dari Pondok Pesantren milik orang tuanya. “sebentar ya, Mas.” Dengan santainya Arai meng-cut perbincangannya dengan Mas Paijo, lalu pergi ke belakang.

Tidak lama kemudian, ada anak muda masuk ke ruangan membawa kopi hitam dan beberapa makanan ringan. “monggo, Pak.” Ramah mempersilakan tamu untuk menikmati hidangannya, lalu tanpa pamit langsung nyelonong keluar dari ruangan. Kriiiiet.... suara pintu terbuka disambung suara khasnya, “he he he, sampean to, tak kiro sopo. Pangling aku.” Muka yang berumur tujuh puluhan masih segar bugar ditambah muka yang berwibawa. Berpakaian khas kiai kampung namun, tidak begitu tampak payah. Beda betul dengan tamunya yang masih muda, berpakaian jas berdasi. Mungkin sekitar tiga puluhan namun, kelihatan letih dan kurang bersemangat. “ngapunten, Mas. Wes tuo, agak pikun. Nyyoh, rokok set!” menawarin sambil menyulut satu batang. “wedange, Mas. nyantai ae, disambi to pangananne.

Pertemuan mereka berdua sangat asyik, Paijo yang berumur dua puluh dua bisa kuliah bareng dengan Kiai Arai di salah satu kampus yang ada di Jawa Tengah. Paijo tidak tahu jika teman sebangku kuliahnya ini adalah kiai gedhe di kampung halamannya – hanya tidak begitu populer di publik, apalagi masuk televisi. Paijo dengan pedhe-nya bertandang ke rumahnya karena Pak Arai ini adalah salah satu korban debat kusir ketika presentasi makalah di depan kelas waktu kuliah dulu. Namun orang tua ini tidak pernah cerita latar belakangnya, apalagi sampai masalah ketokohannya. Bisa dibilang beliau ajur ajer dengan kelompoknya. Padahal ia adalah yang tertua diantara dua puluh tujuh mahasiswa waktu itu – namanya juga kampus tidak populer dan di ekstensi yang kuliahnya hanya tiga hari dalam satu minggu, jumat sampai minggu.

Pak Ahmad Laraibafih terkenal paling polos di kelas, suka bertanya dan minta tolong teman-teman, dan loman. Hanya Paijo saja yang memanggilnya Pak Arai, alasannya biar gaul dan enak di lidahnya sendiri. Padahal yang lainnya memanggil Pak Ahmad. “ngopo raimu koyo wong loro ngono?” tanya Pak Arai. “kulo mboten ngertos nek Panjenengan Kiai, kaget ae pas ndolan mrene. Arep nagih utang. Biyen jenengan turene ajeng nraktir bakso nek kulo ndolan mriki.” Sudah kepalang basah, biasa Bahasa Indonesia dan nggak biasa Bahasa Jawa Halus dipaksa-paksa berbahasa jawa didepan kiai. Begitulah jadinya. “owalah, bocah kenthir. Egen eling ae bakbakan koyo ngono. Ha ha ha, aneh!.

piye, ono opo?” sambil makan hidangan. “anu, Pak Kiai. Nopo leres nek jenenge jenengan ajeng di-ndamel jeneng kampus?” jawab paijo lirih. “jare sopo?” “ngarang ae.” “He he eh.” Suara burung peliharaan Pak Kiai di luar lagi asik mendendangkan lagu-lagu gembira. Sambung menyambung berlomba-lomba menyajikan suara indahnya seperti sedang mengabarkan kabar gembira pada sang pemiliknya. “hemm, arep mbakso nang endi?” sambil menyecek batang rokoknya yang tinggal seperempat dan mengambil lagi satu batang. “nggeh kersane jenengan.” Sambil menyeruput kopi di depannya. “awoooh.... aku iki wes suwi ora ndolan-ndolan. Ra ngerti sopo sek ndodolan bakso enak. Rasane yo wes klalen.”

Jurang Mafhum , 17 September 2014