Rabu, 19 Maret 2014

JALAN

jalan Wonosobo-Purworejo sudah jadi,
 pemandangan tanah merah (Lemah Abang) dipinggirnya.
 Pertama lewat dulu pas Lebaran setelah Ramadhan.
 asyik
berarti udah kembali lagi di pondok, rajab kemarin sampai sekarang.

Rabu, 05 Maret 2014

Iriku Belum Irimu



Iriku Belum Irimu
Oleh: Legiran

Malam setelah deras mengguyur desa kami, suasana dingin angin laut mengantarkan melodi ombak pantai selatan, membuyarkan kesunyian malam itu. Sekitar pukul sebelas malam, rumah Mbah Lasmi tampak sepi, hanya tinggal cucu laki-lakinya, Paijo, yang belum tidur. Ia adalah pemuda tanggung yang belum menyelesaikan kuliahnya dan berkunjung ke Desa Jati manakala boring di kos-kosan kota metropolitan tempatnya bersama teman-teman yang sama-sama lain kota. “Jo… turu, wis mbengi!” – jo, tidur, udah malam – lirih suara simbahnya mengganggu lamunannya. “urung ngantuk, mbah…” – belum ngantuk, mbah – balasnya. Biasanya jam segitu ia masih asik bercanda dengan teman satu kos atau nonton film di laptop.
 Sambil menghisap rokok kreteknya, tanpa suara manusia, bunyi-bunyian binatang malam menambah merdu. “jam segini sudah tidur. Ntar jam empat bangun untuk melakukan rutinitas biasanya.” Membayangkan rutinitas kampungnya. Ada yang ke pasar pagi-pagi buta sehabis subuh, dan ada yang sebelumnya. Mereka menbawa hasil panenan dari sawah untuk dijual ke pasar. Yang TK, SD, SMA/K, sudah ada yang siap-siap berangkat sekolah. Mereka yang tidak naik sepeda motor atau ontel, biasa menunggu minibus di depan rumah masing-masing. Sedangkan yang rumahnya tidak di pinggir jalan aspal, jalan sebentar sampai pinggir jalan. Yang naik ontel atau sepeda motor nanti jam setengah tujuhan berangkat bersama kelompoknya masing-masing. Begitu juga yang menjadi guru dan pegawai.
Dan yang pergi ke sawah, biasa jam setengah enam sebelum matahari muncul sudah berangkat. Ada yang merumput, irigasi, mencangkul, memanen, menyemprot, dan lain-lain sesuai dengan sawah yang mereka punya. Dan Paijo sendiri, sambil bermalas-malasan bangun dari tidurnya – biasa tidur di sofa ruang tamu – melihat adik sepupunya, Tini, yang baru kelas empat SD sedang asik dengan acara anak-anak di pagi hari. Apa saja kartun yang ada di tivi dia hafal – padahal acaranya ya mengulang-ulang. Sambil sarapan ditemani kartun favoritnya, entah apa namanya, aku malas menghafalnya. “sini, lihat berita!” pintaku. “mbah… Kang Paijo nakal.” Jurus andalannya jika aku menggodanya. “jo… ojo diganggu, ndak reang.” – jo, jangan diganggu, nanti ribut.” Biasa suara simbahnya melerai dari dapur. Hebatnya Tini ini adalah, sudah tahu kebiasaan sepupunya itu, kalau ditinggal pasti dipindah acara tivinya, maka ia sering membawa ramote control­-nya atau menyembunyikannya.
“aaaaaaaaaaaaach, endi remote.” – aaaach, mana remotnya? – Ia merengek sambil pura-pura nangis biar tampak aku mengganggunya. Kemudian biasa, simbah sebagai penengah. Karena terbiasa seperti itu, kadang aku mendahuluinya, “mbah… Tini nakal!” sambil melet. “enggak, mbah. Kang Paijo seng nakal.” Belanya. “hahaha…” tawaku. “lah… nangis wae!” balik ia yang kena semprot Mbah Lasmi. Ups, langsung diam ia. Kalau ia nangis, “Mbah… Tini nangis.” Langsung berhenti ia, takut diomelin. Jam enam ia pergi ke sekolah meninggalkan Paijo yang masih bermalas-malasan di depan tivi. “mbok rono nyapu-nyapu, terus adus, cuci klambine sisan, lan sarapan.” Komando simbah pada Paijo. “bocah kok klemprak-klempruk wae kerjaane. La wong aku yo wes ngemek opo-opo seng keno diemek.” Dengan semangatnya memamerkan kehebatan seorang yang berumur tujuh puluhan. Seperti robot, aku berjalan mengerjakan apa yang diperintahkan. Paman Rejo pulang dari sawah, mendekatiku yang sedang sarapan,“simbah itu tidak suka melihat orang yang nganggur. Usahakan kerjakan apa saja yang bisa dikerjakan. Jangan sampai nganggur.” Sarannya.
 Begitulah, semua pelajaran filosofis, sosiologis, teologis, matematika, bahasa asing, rumus ini-itu, doktrin aliran ini-itu, tidak berlaku dan kaku jika sudah berhadapan dengan simbah satu ini. Mau bantah apa coba, kinerjanya kalah langkah. Paijo yang sok intelek jika berkumpul dengan teman-teman, bisa ngoceh apa aja dengan gaya sok tahunya itu sebab buku-buku bacaan. “Hmm, kenapa aku yang muda bisa kalah dengan beliau ya?” padahal, beliau hanyalah orang tua renta yang tidak sekolah tinggi. Aku ‘kan anak kuliahan. Kenapa tubuh ini seperti lamban geraknya. Padahal, jika diamati gerak beliau begitu lamban namun, jika kita bersama melakukan pekerjaan yang sama, seakan-akan ‘dimensi waktu’ dan ‘dimensi tenaga’ ada jarak yang mengikat. Ada istilah, “pelan tapi pasti” dan kita, “boros tenaga.” Asupan makanan dengan energi yang dikeluarkan tidak seimbang; Sedangkan beliau memakan makanan dengan porsi sedikit dan energi terpakai maksimal. Ini jika dilihat dari rutinitas harian beliau dibandingkan dengan aku yang menyesuaikannya.

Kalibeber, 05 Maret 2014