Selasa, 13 Januari 2015

Dimensi Kehalusan Budi dan Rasa



Dimensi Kehalusan Budi dan Rasa
Oleh Abdurrahman Wahid
Di tengah kecenderungan memanasnya suhu politik, terutama menjelang dilaksanakannya Pemilu 1997 dan Sidang Umum MPR 1998 ada baiknya kita menengok salah satu dimensi kehidupan yang sangat penting namun sering kali diabaikan, yakni unsur kehalusan budi dan rasa. Kalau kita hanya terlalu banyak memberikan perhatian kepada dimensi keyakinan dan kebenaran, maka kehidupan kita akan terasa kering. Kehidupan akan menjadi sangat ideologis, sangat formal, dan sangat sarat dilingkupi oleh aturan-aturan. Padahal tidak tertutup kemungkinan aturan-aturan itu justru akan menjerat manusia dalam pola kehidupan menghadapkan satu dengan yang lain. Apabila manusia terlalu banyak memberikan tempat kepada rasio, kepada ilmu pengetahuan dan teknologi, atau kepada sikap memperhitungkan segala sesuatu an sich, maka dengan sendirinya manusia juga akan mengalami kekeringan batin. Manusia akan mengalami kegalauan perasaan. Karena ilmu pengetahuan dan teknologi pada analisis para pakar terakhir ternyata tidak mampu memecahkan segala masalah yang ada. Bahkan kemungkinan ia menjadi tambahan masalah yang baru.
Setiap kali kita menemukan penemuan ilmiah yang baru, muncul pula dampak negatifnya bagi kehidupan manusia. Penemuan plastik, misalnya, semula sangat menggembirakan, karena mampu memberi fungsi yang lebih efektif, ringan, dan murah. Tetapi ternyata ujung-ujungnya mendatangkan malapetaka. Antara lain dapat menjadi penyebab tersumbatnya saluran-saluran air dan pada akhirnya menjadi penyebab banjir di kota-kota. Terakhir, teknologi kloning, dari segi iptek merupakan penemuan luar biasa, tapi ternyata sekarang mendatangkan kecemasan jika diterapkan pada manusia. Maka jika kita hanya berbangga-bangga dengan iptek semata, kita akan kehilangan dimensi kehidupan yang paling berharga,yakni adanya pengertian dalam keseimbangan hidup.
Kehidupan akan timpang manakala kita mengabaikan kehalusan budi dan rasa, jika kita mengabaikan apresiasi yang benar terhadap kehidupan. Sekalipun terkadang apresiasi itu tidak sejalan dengan ideologi dan keyakinan rohani. Sebagai contoh, seorang sahabat saya, K.H. Mustofa Bisri memberi nama mushalla di belakang rumahnya dengan Pasujudan. Nama itu diprotes dan diributkan orang. Gus Mus dianggap terlalu kejawen dan abangan.
Padahal yang dilakukannya adalah dengan kehalusan rasa ingin mencari makna kata lain yang lebih halus dan mushalla, yakni pasujudan, yang berarti bersujud kepada Allah SWT, meletakkan muka di lantai dengan menelungkupkan badan, dan merasakan diri sebagai makhluk yang paling hina di hadapan kemahakuasaan Allah SWT. Mereka yang memprotes sebenarnya dilatarbelakangi oleh minimnya rasa halus yang mereka miliki. Mereka hanya berpegang pada aturan-aturan dan kelaziman-kelaziman. Di sinilah arti penting rasa halus.
Jika kita tidak memiliki kehalusan rasa terlalu gampang terlanda kesalahpahaman. Satu contoh lagi, sekitar sepuluh tahun lalu saya merasakan kehalusan, getaran yang sangat dalam dan luar biasa, yaitu saat Muslimat NU mengadakan rapat kerja nasional di Tegal, Jawa Tengah. Pada pembukaan rakernas itu tampil ibu-ibu Muslimat dengan pakaian hijau-hijau muda, tampak asri dan anggun. Bayangan saya seperti biasanya mereka akan mengalunkan Shalawat Badr. Tetapi yang terjadi ibu-ibu itu melantunkan tembang Jawa Ilir-ilir. Apa yang dilakukan Muslimat itu di luar tradisi NU, namun memberikan kesejukan yang luar biasa. Bukan hanya pada saya, tetapi pada ibu Menteri Urusan Peranan Wanita dan Gubernur Jawa Tengah pada waktu itu. Di sinilah kita mendapati hal-hal yang halus merupakan sesuatu yang esensial dari kehidupan kita. Ternyata kehidupan itu memerlukan dimensi-dimensi yang lain.
Kehidupan kita juga tidak hanya diarahkan oleh kepastian-kepastian kebenaran ideologis, kebenaran yang formal. Kita ternyata juga memerlukan ketidakpastian, kebimbangan, kegalauan, dan kesenduan. Dalam sebuah novel berbahasa Prancis—dalam bahasa Indonesia berjudul Gerbang yang Tertutup— dikisahkan seorang gadis bemama Allisa. Dia mencintai sepupunya. Kegalauan gadis Allisa terombang-ambing oleh rasa cinta, rasa takut, dan rasa bimbang, yang akhirnya justru menghaluskan perasaannya. Membawa diri kepada kesadaran bahwa di balik semua itu yang mengacaukan, membingungkan, dan menggalaukan, tampak yang abadi, yaitu Tuhan. Karena itulah hanya orang-orang yang mendapati kebesaran Tuhan dalam konteks ini, maka bagi merekalah jalan untuk membuka gerbang yang tertutup itu menjadi sangat luas. Sedemikian besar pengaruh ketokohan dan sosok Allisa dalam diri saya, sehingga nama itu saya berikan untuk putri pertama saya. Dari sini kita dapat memahami seni dan budaya berfungsi agar hidup kita tidak terlalu serba pasti dan tidak serba benar.
Senin, 24 Maret 1997

Senin, 05 Januari 2015

BELIAU SANGAT MENGENAL TUHAN dan MALAIKAT


BELIAU SANGAT MENGENAL TUHAN dan MALAIKAT
Mr L

Bismillahirrahmânirrahîm al-hamdulillahi rabbil’âlamîn (1:1-2). Semua Malaikat bershalawat kepada nabi, kita pun dianjurkan mencontohnya (33:56) dan Semua Malaikat beserta alam semesta bertasbih padaNya. – qalû subhânakalâ ‘ilmalanâ il-lâ mâ ‘al-lamtanâ... (2:32). Sampai-sampai para Jin takut dan berkata jujur jika beliau bertanya. Allahumma shali’alâ sayyidinâ muhammad. Dianugrahi ilmu alam semesta, namun sederhana dalam membimbing. Dianugrahi kekayaan dunia akherat, namun memilih berkumpul dengan para fakir miskin tanpa menghinakan para oang-orang kaya.
Nur Fawais Saudah, sebut saja dia begitu – salah satu sahabat penulis – atau panggilah dengan  panggilan akrab yang Anda suka. Saya tidak mafhum artinya apa nama itu, tetapi saya suka dengan nama tersebut. Ia di tempat pendidikan al Quran, sering berpikir sejenak jika mengingat ungkapan Sayyidah Aisyah yang dicintai oleh Beliau shalullahu ‘alaihi wassalam. yang masyhur, “akhlak beliau adalah al Quran.” Sekarang tahun 2015, abad 20 M. atau tahun 1436, abad 14 H. Kemaren baru saja diperingati, 12 Rabi’ul Awwal 1436 H atau 03 Januari 2015 M. Beliau shalullahu ‘alaihi wassalam. bermesra dengan ungkapan, “mereka kekasihku, yang jauh dari zaman hidupku di dunia namun mengenal dan mencintaiku.” Ia ingin menghadap kepada Beliau dengan bertanya, “masihkah berlaku kalimat menggembirakan itu padaku yang berdekat dengan ‘akhlakmu’ namun bodoh dalam perilaku?”. Allahumma shali’alâ sayyidinâ muhammad.
Malaikat mencatat tanpa mengurangi berita, membagi rezeki melebihi menteri perekonomian, menggusur tanpa pandang bulu, menghukum tanpa belas kasih, memberitakan apa yang sebenarnya kabar, menjaga kemewahan dan keindahan tanpa korupsi, bertanya tanpa menerima kebohongan, bekerja tanpa mengharap imbalan. Semua penuh dengan ketaatan pada Sang Pencipta. Kembali kita menginjak bumi nusantara, kata beliau KH. Said Aqil Siroj, ketua PBNU setelah al maghfurlah KH Abdurraman Wahid ketika memperingati Maulud Nabi di Kota Batang, hadir juga Habib Luthfi bin Hasyim Pekalongan, “bumi nusantara lebih mencukupi kemakmuran 270 juta penduduk Indonesia, namun kurang untuk mencukupi satu dua orang serakah.” Begitu juga kata budayawan Muhammad Ainun Nadjib (Emha Ainun Nadjib atau Cak nun) ketika menjelaskan “Syafaat Rasul” dalam sebuah Esai di buku “Kyai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki” (hlm 149-153), “bumi sepenggal sorga, tapi kita keceh di hujan (seperti anak-anak), boros, foya-foya dan memonopoli untuk menyengsarakan ratusan juta rakyat. Kita merusak kemanusiaan dalam hewani, rakus, iblisi, lahwun (senda gurau), la’ibun (main-main), dan dhulm (kegelapan).” Kemudian, “umpama memegang 200 triliyun untuk sampai ke rakyat, ada yang bilang, JANGAN....”
Asssalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarrakatuh, penulis juga pernah membaca biografi al maghfurlah KH Muntaha al Hafidz, karya Samsur Munir Amin, menceritakan bahwa Beliau pernah sekali bertemu dengan Rasullullah shalullahu ‘alaihi wassalam. ketika ziarah di makamnya. Hanya sekali, di abad sekarang yang jelas tidak masuk akal, namun hal itu tidaklah mustahil karena, sebelumnya para sahabat nabi juga ada yang pernah mengalaminya meskipun hanya dalam mimpi. Bagaimana para kiai, ulama, alim zaman sekarang, 2015, yang selalu masih bergembira menggemakan marhaban marhaban ya nurrul ‘aini... marhaban marhaban jaddal husaini...”monggo kajeng nabi, sugeng rawuh teng manah kito, teng akal kito, teng jasad kito. Ngapunten manah, akal, lan jasad kito mboten sahe. Nggeh kadhos niki.
Beliau shalullahu ‘alaihi wassalam. takdzim dengan Sang Pencipta, ramah dengan Malaikat, sayang dengan seiman, kasih dengan sesama manusia, tenggang rasa kepada perbedaan. Meskipun dalam catatan sejarah ada yang tertulis masalah ‘peperangan dengan manusia’, Beliau shalullahu ‘alaihi wassalam. juga mengimbanginya dengan penyataan ‘peperangan dengan diri sendiri’. Penyataan, perbuatan, tauladan Beliau shalullahu ‘alaihi wassalam. dengan diri sendiri, dengan keluarga, dengan saudara, dengan sahabat, dengan tetangga, dengan masyarakat, dengan bangsa, dengan antar bangsa, menjadi ilmu yang rahmatalil ‘alamin. Bahasa gaulnya, mulyo nanging mboten ngasorake liyan – mulia namun tidak menghinakan yang lain. Kenyataannya, ada yang merasa terhina akan keluhuran budi pekerti Beliau, begitu? Baiklah, itu hak Anda dalam mengoreksi. Maaf jika ada salah dan kurang sopan dalam penulisan.


Di Kamar, 04 Januari 2015.
Penulis