Minggu, 05 Juli 2015

KUKADO KAU DUKAKU



KUKADO KAU DUKAKU
Mr. DIAM
Namanya Ayyat El Hafidz, ia menyukai wanita itu. Sebut saja AU, mahasiswi jurusan sastra di salah satu perguruan tinggi di Indonesa. Pemuda itu suka dengan hari kelahirannya sendiri di dunia ini, tepat pada hari dimana tembok Berlin bersatu, 9 November 1989. Kalau AU sendiri lahir di 27 Ramadan 1411 – sekitar tanggal itu jika di hijriah-kan, atau 25 Ramadan, belum saya tanyakan. Sekarang ia sedang dekat dengan teman akrabnya, namanya Ahmad Ilham, lelaki yang lahir di tanggal 25 Desember 1991 – kebetulan mempunyai hobi yang sama, suka jebret-jebret alias potograper. El sendiri berjauhan dengan AU, karena beda kampus, dulunya satu SMA – dulu El mengenal namanya Amal, tetapi sekarang banyak teman kampusnya memanggil Lia.
Diam. . .Diam! Diam. Diam, Diam? Dia am am am am
diam. . .diam! Diam? Diam. Diam, dia am ama am am
dan diam, dia didiami diam. Diami? Diam! Dia diam.
di am dia diam. Diam? Diam. Dia diam? Am dia. Diam! Diam . . . diam,
sssttt . . . Diam! Dia diam? Diam? Diam? Ya, diam.
upss, diam. Diam diam diam. Hmm diam. Diam-diam dia . . .
paham diam? Paham! Diam, Diam-diam dia paham diam.
mas, diam. . .diam, mas! Diam itu emas, paham emas diam? Emas diam. Dia diam
Diam. Dia emas?
AU lihai kalau soal ngeles saat dipuji oleh El, saat malam 15 Ramadan AU coba dirayunya, “Kau mempesona malam ini, rembulan pun tak kalah dalam memamerkan pesonanya, terpesona aku. Kau lebih cantik dari dekat, beda rembulan yang cantik dari jauh”. Karena AU suka membaca buku-buku syair-syair para sufi, seperti al Rumi, Rabiah al Adawiah, penyair-penyair Barat, dan penyair Nusantara, ia pun hanya biasa saja sambil mengatakan, Leg – begitulah ia memanggil si El –, “daripada kamu merangkai kalimat rayuan basi, nih buku-buku rayuan cowok alay sepertimu, bacalah! Aku udah kelar”. Sambil nyengir memakai salah satu gambar-gambar yang sudah disediakan aplikasi facebook, twitter, BB, dll.
sayang....
kata mereka aku kafir.... aku tersesat....
karena aku mencintaimu.
karena aku ini tak tahu jalan pulang setelah berkunjung kehatimu
sayang....
setahuku, cemburu yang berpahala adalah cemburu suami pada istri
dan atau sebaliknya
bolehkah aku cemburui khayalanmu itu
sayang....
bolehkah aku menikahi akalmu
walinya guru
saksinya para malaikat
maharnya ilmu
sayang...
jangan khawatir
bolehkah penghulunya adalah Tuhan Sang Maha Bijaksana
aku ingin pengetahuanmu halal untukku
menjauhi perzinaan berkepanjangan ini
sayang...
hina aku yang bodoh ini
kalau itu dapat menenteramkan hatimu
aku lelah, sakit...
terperkosa oleh kosa kata dari ribuan makna
sayang...
saudara kita akan hadir dalam akad nikah nanti
Si Jasad
Si Nafsu
Si Ruh
Si Jiwa
sayang...
menikah bukan paksaan, namun
mencari halal
membelai mauwadah
bercinta warahmah
mencapai keharmonisan hidup
sayang...
sayang sekali.

Ilham bertuit-tuit di twitter yang hanya 240 karakter, “indahnya kedua sahabatku itu, si El dan si AU, selain saling sapa syair sanjungan semu, mereka berdua tidak meninggalkan bersimpuh dalam dhuha”.  Biasa bisa bias, dia kan paling suka khusnudzon dengan teman-temannya. Rindu sebelum merindukan, merindukan dalam kerinduan, kerinduan sejatinya rindu. Dari milyaran kerinduan yang ada di alam semesta, ia akan mengalir menuju muaranya. Jika rindu itu ibarat debu, apakah padang pasir dan tanah muaranya. Kalau rindu ibarat hembusan nafas, anginkah muara itu. Umpama setitik embun jadi ibarat rindu, mungkinkah samudera muaranya. Jika cahaya adalah muara kerinduan, mungkinkah percikan-percikan itu kita. Ia tergetar dengan suara itu, apakah kau akan bertanya muaranya? Coba kubertanya pada jawaban. Tahukah kau ilusi kerinduanmu itu, aku berbohong untuk tidak merindukan dan si bodoh merindukan kebodohan lalu menyesal karena tidak sanggup menerima kesejatian kerinduan itu sendiri.

Ruang Lamunan, 04 Juli 2015


Si Bodoh