Kamis, 23 Februari 2017

PENGANGGURAN



Tunawisma, adalah idiom yang mengatakan bahwa ada ‘gembel’, ‘pengangguran’, ‘gelandangan’, dan ‘sampah masyarakat’, benar begitu? Kalo di perkotaan yang banyak membutuhkan tenaga kerja dan sibuk, itu hal yang wajar dikatakan seperti itu – manusia yang keluar dari konteks sibuk bekerja dan berkarya – namun, jika di ‘desa’ ada ‘pengangguran’ itu pertanyaan besar? Apalagi seorang lulusan universitas. Bisa jadi dia ‘gengsi’ menjadi masyarakat desa? Apabila umumnya bertani, mengolah tanah sendiri (kebun atau sawah) atau menjadi buruhnya pemilik tanah, mau tidak mau ia harus menjadi salah satu dari mereka, bukan?
Dan sistem kekerabatan yang begitu kental menjadi salah satu jalan untuk menjadi relasi dalam bekerja. Umur 25 tahun adalah pemuda-pemudi yang sudah seharusnya menjalani kekeluargaan. Ia lulus kuliah tanpa nyambi kerja sudah menginjak umur 27 tahun, minimnya skil dalam bermasyarakat dan berimprovisasi akan kreatifitas bekerja dan bekarya merupakan ‘hantu’ yang menakutkan. Kalo mencukupi dirinya sendiri bisa baik-baik saja, tetapi ia mempuyai kewajiban menjadi ‘manusia sosial’, dengan diri sendiri, keluarga, kerabat, tetangga, dan pemerintahan. Ia lagi fokus dengan ‘kepenganggurannya’, dengan prinsip tidak mengganggu yang lain dan menyalahi lainnya. Individu yang mendekati egois, itu bukan ‘nafas kehidupan’ desa.
Biasanya, jika ‘belum menikah’ ia belum dikenai ‘ikatan perjanjian tak tertulis’ dalam masyarakat seperti, kondangan, muyen, mengurus kematian, dan sebagainya, namun mempunyai andil menjadi pembantu (pelayan atau sukarelawan) jika ada suatu hajatan di masyarakat khususnya dengan kerabat dekatnya. Kalo tidak begitu, biasanya merantau menjadi tradisi pemuda desa. Jika ia tidak mempunyai ‘modal lahan’ dan ‘modal uang’ untuk menjadi syarat atau alat untuk ber-tetekbengek. Semacam itu juga untuk interaksi dengan sepupu, adik-adik, keponakan yang statusnya mereka masih sekolah, bahasa lumrahnya adalah ‘ngasih sangu’ buat jajan mereka. Sebab dulu orang tua mereka juga melakukan hal semacam itu pada kita ketika kita masih kanak-kanak.
Pangangguran ini untuk melakukan semacam itu ‘materi’ berupa ‘uang’ mungkin sangat sulit, jika ia juga ‘pemuda boros’. Lebih besar pasak daripada tiang. Ditambah ‘malas’ membantu kerabat, dalam hal merawat lahan atau rumah – modal tanaga dan keikhlasan – tanpa bergaji merupakan ‘tabungan’ masa tua. Juga termasuk menjadi tempat kita menambah keahlian kolektif. Kita sedang membicarakn ‘pemuda’ – jejaka desa, bukan ‘pemudi’ – perawan desa – yang biasanya hanya menunggu pinangan seorang yang berani dan membuat tertarik ia untuk bersama berkeluarga memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing. Skill dan ketrampilan pemuda menjadi modal utama untuk menarik ‘pemudi desa’, baik dalam segi masyarakat yang hubungannya vertikal maupun horizontal – kesolehan social dan kesolehan individu – untuk menjamin ketentramannya.
Kenapa hanya kesadaran akal bukan kesadaran real? Cuma sadar tetapi tidak teraplikasikan dalam kenyataan. Ah, kenapa begini? Maaf Tuhan, saya belum mampu menjadi apa yang Engkau sukai, masih belum mampu bersyukur sebaik-baikya syukur, masih belum mampu bersabar sebaik-baiknya sabar. Assalamu ‘alaika ya makarimal akhlak, ngapunten tansah ngisin-ngisinke panjenengan 
10 Maulud 1438/ 10 Desember 201

AKU



“Kau adalah kau dan aku adalah aku”, begitu jawabnya beberapa kali sebelum, “iya, aku adalah salah satu makhluk ciptaanMu”. Dan sebelum dunia ini dimasuki oleh si penjawab, “iya, Engkaulah Sang Pencipta dan Yang Menguasaiku”, ia bermilyar tahun dikelolah oleh penjawab pertama. Ada yang menamakan si penjawab pertama adalah ‘nafs’ dan penjawab kedua ialah ‘akal’. Semua ciptaan Tuhan yang tidak diliputi oleh ‘nafs’ adalah “keindahan”. Ambil contoh, ‘bangsa Jin’ dan ‘hewan’ semua sepenuhnya terliputi oleh nafs. Selain itu – kecuali manusia –, adalah perwujudan dari akal dan untuk diakali (diproses oleh akal dan membantu akal), seperti langit, bumi, dan yang ada di antaranya – menurut penulis semuanya adalah keindahan. Dan manusia makhluk yang terliputi kedua penjawab di atas, ia akan condong dan mengarah ke mana?.
Penulis mempunyai dua belas anak ayam yang ditinggal mati oleh induknya setelah berumur satu bulan kurang sedikit. Ada tiga kakaknya, yang dua – jantan dan betina – berumur sekitar satu setengah tahun, sedang yang satunya berumur dua tahun – ia sudah bisa berkencan dengan Jago dan pejantan-pejantannya, hingga bertelor dan mengengkraminya. Kedua belas anak ayam itu yang belum mempunyai ekor, setelah mengalami seleksi alam berlomba-lomba dalam pengembangan nafsu mereka, kini tersisa dua ekor. Sayang sekali, penulis tidak mengasramakan (mengandang; kurungan tersendiri) mereka, mereka harus bersaing hidup dengan kakak-kakaknya dan ayam tetangga yang menganggapnya ‘junior asing’ yang siap di-pathuk dengan paruh dan di-pendhel cakar mereka jika berani berebut makan dan daerah kekuasaan. Hmm, mereka tidak dapat melawan selain menghindar, dan tetapi terkadang masih nekat berebut makan meskipun ter-pathuk dan ter-pendhel. Ternyata, induk ayam yang sudah tiada di atas, penganut faham single parent, dan itu hampir semua induk.
Kalo jasadiyyah, atau indrawi keindahan terwujud dalam penglihatan, pendengaran, dan perasa, perbuatan. Dulu pernah sedikit dapat selentingan (infomasi) bahwa, jika hewan condongnya ke ‘insting’nya, kita sedang membahas “ayam”. Mata meraka bisa melihat para malaikat, pendengaran mereka dapat mendengarkan jeritan derita alam barza (derita orang yang sudah mati). Melihat malaikat biasanya yang mereka (sebagian orang) pahami, ketika jago melakukan kongkongan atau berkokok, kukuruyuuuk… dan lain sebagainya – variatif. Terkadang mereka mengalami ketakukan yang tidak kita pahami, muka pucat dan tingkahnya tenang bercampur kalut. Kalo mau bertelor, si induk berpetok-petok, petok.. petok.. petor.. seperti mengabarkan ada ‘keganjilan’, gelisah dan membuat gaduh suasana sekitarnya. Maaf, sekali lagi, penulis tidak membahas ayam petelor; ayam hutan/liar; ayam petarung; dan ayam potong, tetapi ayam peliharan ibu penulis yang kebetulan membantu memelihara. Bunyi-bunyian mereka adalah mutawatir, dari jaman dulu sampai sekarang, ya begitu-begitu – mungkin ada yang mau mengamati, tanpa campur tangan manusia. Oh, ya.. tahun 2017 ini, jika menurut kalender orang Tionghoa adalah Tahun Ayam.
Sudah dulu ah, aku bukan dokter hewan, apalagi pengamat hewan. Hmm, kepikiran dan untuk menambah koleksi bacaan pribadi. Aku juga tidak tahu, kenapa orang-orang barat di film-film, chiken (dengan bergaya tangan ditekuk dan mengomel kokok petok-kokok petok sambil mengembang dan menciutkan ketiaknya) atau apalah istilahnya untuk menghinakan orang lain. Dulu juga ada istilah ‘ayam kampus’ (cewek panggilan), juga ada peribahasa: “seperti anak ayam yang ditinggalkan sang induk”. Kalo “dongeng” anak-anak, konon, dulu ayam bisa terbang – karena mempunyai ‘jarum emas’ alat penyulam bulu-bulunya – tetapi, tercuri oleh burung Elang, dan sampai sekarang keturunan ayam tidak bisa terbang. Jarumnya tidak terjatuh dalam sekam, tetapi di tanah, sehingga mereka sampai sekarang suka mengeker-eker tanah, karena mencarinya. Tidak semua yang keluar dari silet ayam tembelek, ada telor. Karena silet yang hanya mengeluarkan tembelek adalah Jago. Dulu juga ada kematian masal ayam, dengan adanya virus “flu burung”.
Di Rumah, 22/02/2017
Penulis  

DERAP DEREPER



Setiap tahun para petani jika menanam padi, akan mengalami dua kali panen. Jika musingnya adalah musim penghujan. Di dalam panen padi yang bersamaan itu, ada beberapa orang yang tidak mempunyai sawah ikut nimbrung berpanen ria – meskipun terkadang harus menebalkan telinga dari sengatan mulut pemilik sawah. Siapa mereka? Mereka adalah ndereper dan ngasaker – golongan yang pertama (ndereper) adalah mereka yang diajak secara resmi oleh si empu untuk membantu memanen; yang kedua, mereka yang datang dari berbagai daerah untuk mengambil sisa-sisa dari panen (biasanya ibu-ibu) yang tidak begitu diprioritaskan oleh pemilik. Para ngasaker biasanya berinisiatif membawa barang dagangan yang bisa dinikmati di sawah – yang ini melakukan “barter” (‘barang dagangan’ dengan ‘gabah’).
Ndereper lelaki mereka melakukan tugas nyerit (memotong damen “pohon padi”, memasukan ke alat pemisah gabah “padi yang berkulit”, dan mengangkati “ngelangsir”­ – 50 kg. lebih – ke tempat pemilik setelah masuk dalam karung. Para lelaki biasanya mendapatkan satu karung, ibu-ibu mendapat setengan karung, sedang sisanya menjadi milik si empunya. Kebanyakkan ndereper adalah para kerabat dekat dan tetangga dekat pemilik. Si pemilik menyediakan pembekalan untuk mereka yang membantu, sedangakn ngasaker membawa sendiri bekalnya untuk mengganjal perut masing-masing. Meskipun terkadang ditawari oleh pemilik sawah – biasalah basa-basi orang jawa – namun, menolak dengan senyum sopan. Sedikit tanya-tanya asal pe-ngasak dan bercerita ngalor-ngidul menambah keharmonisan di terik panasnya matahari. Penulis pernah mengikuti salah satu tetangga dan kerabat, dan lempoh “terkapar”, padahal mereka, baik yang bapak-bapak maupun yang ibu-ibu lelah-letih bumbu penyedap hidupnya. Dasar aku pengeluh. Gatal-gatal dan perih jika menempel ke damen dan gabah, karena belum terbiasa. Tidak mungkin habis dimakan sendiri, terjual untuk mereka-meraka di sana-sini yang membutuhkan.
Hasil dari berbagai aktifitas tersebut, selain dijual, adalah untuk kebutuhan sehari-hari – makan, biaya sekolah anak, dan biaya lain-lain – , dan untuk sedekah kegiatan di desa – kerabat nikahan, kematian, melahirkan, selamatan, ngirim arwah, dan hajatan lain sebagainya. Sudah menjadi adat setempat, jika bukan petani mereka mengimbangi situasinya dengan memakai isi dompet. Yah, begitulah. Jelasnya ada hal yang tertinggal dalam proses di atas, pengeringan dan penggilingan. Jika penulis melakukan ngepe gabah (pengeringan dengan terik matahari), alih-alih membantu ibuku sendiri yang seperti tidak punya capek mengalahkan penulis dalam gerak. Ketika gabah keluar dari karung ke atas lantai – ataupun apapun yang menjaganya agar tidak ke tanah –, terik mentari memancarinya laksana biji-biji emas yang inah dipandang mata (kalo menyuntek-nyadari karung membuat gunungan-gunungan)  tambah indah. Membolak-balik; menjaga dari serangan ayam-ayam dan ternak sejenisnya yang kelaparan, baik punya sendiri atau tetangga, yang siap mematuk dan menyosor jika kita tidak pintar-pintar menjaganya di terik panas matahari.
Dalam waktu me-ngepe, kelak kita manusia akan ter-epe di terik matahari yang berjarak satu jengkal, dalam hati sedikit berdoa, semoga kita mendapat naungan safaatnya saw., karena kita mengaku-aku menjadi umat yang maaf, penulis sendiri seperti lebih banyak mempermalukan beliau saw. yang bergelar sang karimal akhlak. Itu kalo lagi panas. coba kalo masih dirundung mendung dan hujan, saat panen hujan, dalam karung beberapa hari tanpa panas, bisa-bisa tukul (tumbuh) di karung, lalu menjamur karena tidak segera menjemur, menjadikan jemu hati setiap manusia. Dengan adanya ujian seperti itu, hati-hati dengan tetangga yang dikit-dikit umep alias suka marah, karena penulis pernah kena semprot caci maki sumpah serapahnya, gara-gara persoalan penulis nyantai dalam situasi seperti itu, sedang ia panik – saya cuma dua bagor (karung) dan ia lebih dari delapan bagor. Niat ingin bercanda berubah menjadi gemerungsung-nya hati dan pikiran. Mungkin selain panic, ada faktor lain yang tidak sengaja kulakukan membuatnya menjadi kalap. Untung masih bisa dikondisonalkan. Terima kasih Tuhan.
Gading Klenton, 18/02/2017

Salam Sayang

“Arang Menikahi Berlian”



Siapa Berlian itu, apa bersaudara dengan Mustika dan Zamrud atau Yakut dan Mutiara? Bebatuan yang tertempa beberapa peristiwa alam, menjadikannya mengkilap, membuat mata terpana ketika melihatnya, harganya luar biasa. Arang adalah sisa-sisa dari kayu yang terbakar, yang apabila terkena api lagi ia akan menjadi abu. Kita jelas mafhum, tidaklah sekufu hubungan antara Arang dan Berlian, dipastikan sangat jauh bandingannya hingga mustahil setara. Padahal bentuk mereka berdua sama, timbangannya sama, dan kebetulan keduanya ditemukan dalam grobak sampah oleh seorang Alim Ulama yang hendak membuang sampah, limbah dapur keluarganya. Sang Alim Ulama ini melihat si Arang jatuh di sebelah si Berlian, letak mereka sangat dekat, berjarak dua jari yang sedang ber-pose selayaknya orang mengatakan peace pada yang melihatnya. Di situlah mereka berdua jatuh cinta dan ditemukan oleh Sang Alim Ulama, dan membuat heran perbuatan kedua makhluk itu, belum pernah terbayangkan olehnya pada waktu itu bisa mendapat pengetahuan tentang kisah kasih Arang dan Berlian dalam hidupnya.
Dilihat dari tiga kategori, bibit-bebet- bobot-nya jelas si Arang mendapat keberutungan akan kejadian tersebut. Sedangkan si Berlian tidaklah merasa mempermasalahkan hubungan itu, karena ia wanita yang sholehah. Untuk pandangan umum, Arang, jelas lelaki yang akan membuat kehidupan Berlian tidak  seindah kedudukannya yang tercipta dalam keindahan. Jika cuaca alam ini mendampingi mereka berdua, sudah dipastikan Arang tidaklah bertahan lama melawan panas dan hujan musim kehidupan. Cantiknya, hartanya, keturunannya, dan agamanya si Berlian sungguh jauh dibanding si Arang, tetapi cinta membutakan mata mereka berdua. Sungguh, Sag Alim Ulama ini tidak tahu ‘amal’ apa yang telah diperbuat si Arang sehingga ia memperoleh cinta Berlian. Padahal beliau mempunyai Zamrud, seorang anak semata wayang yang masih melajang dan terpelajar, dan ada sedikit terbesit dalam hatinya untuk menikahkan anaknya daripada si Arang itu. Apalah daya, “nikmat adalah cobaan, musibah juga cobaan, semoga bukan laknat” mungkin masih bisa dipertimbangkan.
Setelah dibawa kerumah Sang Alim Ulama, mereka berdua bercengkrama selayaknya saling memahami antara satu sama lain dengan si empunya rumah. Pemuda tampan dan berwibawa membawakan minuman dan hidangan ke ruang tamu atas perintah ayahnya untuk tamu mereka. Kemudian ayahnya memperkenalkan tamunya pada anaknya, dan memperintahkan untuk ikut nimbrung dengan mereka, karena usia mereka tidak jauh beda. Seakrab mungkin mereka bertukar pengalaman seperti layaknya keluarga sendiri, hingga tidak sengaja si Arang menanyakan calon pendampingnya Zamrud. Ia pun menjawab dengan tidak meninggalkan gaya khas canda pemuda, “carikan dong! haha” sambil tertawa melepas penat di kepala jika ditanya masalah privasi. “oh iya, kalian sudah bekerja belum?” balik Zamrud menggoda pemuda pemudi yang sedang dimabuk cinta. Berlian tersenyum, Arang menjawab dengan gaya gentle, jelas ia sedang melakukan manuver kejantanan di zona kehormatan seorang lelaki, “belum, dan akan segera. Insyaallah.”. “haha, santai di perusahaan ku masih membutuhkan tambahan karyawan untuk laki-laki semangat”. “untuk Berlian, aku ada kenalan cewek, Kumala namanya, yang mungkin bisa membantu, besok kalo senggang bisa main ke kantornya. Bilang saja, temannya Zamrud! Pasti ia paham.”, dengan gaya santainya yang cool menghantarkan pencerahan pada kekalutan hati kami yang tersembunyi. 28 11 2016

SETUBUH



Kau yang memakai celana dalam segi tiga tipis dengan kaos longgar seatas lutut berbahan sutra tanpa BH menghampriku yang sedang hanya memakai sarung tanpa celana dalam. Di depan laptop mengedit tubuhnya yang tanpa selembar kain dengan intensnya sangat konsentrasi dan khusuknya dalam kamar kerjaku. Sebagai suami yang begitu berminat kan keindahan tubuh, khususnya tubuh bangsa hawa, sungguh pemandangan istri satu ini membuat buyar kekonsentrasianku. Kau mendekat disampigku dengan lembutnya menyentuh dadaku yang datar dan berdetak kencang sebab kehadiran makhluk seksi ini, meskipun cukup subjektif dalam penilaiannya. Bau khas tubuhnya yang tidak asing semenjak kukenal pertama kalinya membuat pikiran ini melayang ke nirwana persetubuhan.
Tanganmu yang mungil dan seksi dengan jari lentik yang indah menyentuh pahaku merayap ke arah pangkalnya yang berdekatan dengan batang yang mempunyai dua buah misterius. Kumenoleh kearahnya tepat di depan wajahnya, bercampurlah nafas kami dalam hembusan angin surga. Kau tersenyum dan aku memanggut dengan tanpa bahasa kata yang tergantikan dengan bahasa tubuh kesunyian kami akan kelembutan kasih sayang. Tampak buah dadanya di balik kaos yang dikenakannya mengencang, dan di balik sarungku bergerak-gerak menambah beban pada isi kepala. Hawa ruangan menjadi senyap, meskipun bermusikkan lagu slowly beraroma romantis, karena kami tenggelam dalam lautan asmara yang tak pernah kami bayangkan sebelumnya. Kukecup kening hangatnya yang berkeringat dingin menyumber bintik-bintik kecil yang tampak menjadi mendung wajahnya. Jika kami akan bersetubuh, kami terbayang bahwa ini persetubuhan terakhir kalinya, karena kami tidak tahu hari berikutnya masih hidup apa sudah mati, hingga kami akan melakukannya sampai setiap masing-masing dari kami terpuaskan.
Kecupan bibirku yang bermula dari kening merayap ke bawah menelusup pada bagian sensitifnya, menambah rabaan yang penuh arti dengan kehati-hatian mendalam sambil memberi remasan-remasan pada tubuhnya yang bisa membuatnya tambah bergelora dan berhasrat. Ia pun demikian, menggerakkan tubuhnya dengan lembut saat menerima sentuhan demi sentuhan dengan membalas remasan yang menantang pada bagian tertentu di tubuhku. Kami merasakan ada cairan yang keluar dari masing-masing alat penting kami, sungguh mencairkan suasana kami yang sebelumnya mengalami ketegangan kolekstif yang menderu nafas kami. Ia berbisik lembut ke salah satu telingaku yang bermakna bahwa ia siap menerima apa yang seharusnya ia terima, aku pun menguatkan diri untuk memberi apa yang seharusnya kuberikan. Tanpa mengharap kembali, kerelasian akan kerja keras kami membuahkan hasil, kemutualismean memuncak setelah puluhan menit terjadi gesekan-gesekan bersahaja antara lahiriah dan batiniah kami. Interaksi yang memaksa kami berdua ireksi dan menjadikan kami terkapar dalam keletihan yang membahagiakan, kumelihat senyuman dan anggukkan darinya yang anggun, ia ingin menambah lagi dan mengulang ejekulasinya untuk yang kesekian kalinya. Samalah apa rasa yang ada padaku, kenikmatan apa ini (?).
30 11 2016
Setelah beberapa kali melakukan iktikat untuk tidak membayangkan hal-hal yang berbau ‘kemesuman’, jika dilakukan oleh seseorang kepada yang bukan ‘selayaknya’, sungguh amat susahnya aku mengendalikan. Padahal, penangkalnya sudah dibocorkan oleh kanjeng nabi Saw, “jangan berpikir mesum, jika mampu nikah saja, dan kalo belum mampu berpuasa saja”, dan itu dilakukan oleh nabi Isa As. dalam kurun lebih 20 abad. Bayangkan kenormalan beliau As., keangkatannya sekitar umur 30-an, itu masa puber yang kesekian kalinya. Untung saja, semua nabi dijamin kemaksumannya (terjaga dari dosa), jelaslah beliau As selama ini tidak memiliki sifat-sifat mesum yang terdorong oleh syahwat yang tak terkendali. Aku akui, sebagai manusia yang beranjak umur 28, aku masih belum bisa mengendalikannya, ini masalah individu dan kualitas masing-masing – apa tergolong manusia yang kalah dan belum merdeka dengan diri sendiri (?), mungkin iya. Dan puasa pun yang sudah latihan 30 hari – di bulan Ramadlan – yang seharusnya bisa menjaga kelamin, lisan, hati, pikiran, dan perbuatan dari mendzalimi diri sendiri, nyatanya masih nol besar.
Heran sekali aku ini, mengapa begitu absurd untuk masa-masa yang begitu dibilang mendekati kematangan akal, psikologis, maupun kemapanan akhlak. Penyembuhan untuk diri ini harus bagaimana? Rasanya ingin berteriak, aa..aachtttt.. untuk menyelesaikan masalah ini, tetapi itu hal konyol kalo dilakukan di tempat umum atau di tempat-tempat sepi sendirian, bisa jadi kena cap sinting gendheng miring, mungkin benar kata beberapa psikolog seks, “keinginan seks dari remaja yang terlalu dikekang akan berakibat kestresan dan depresi, hingga jika terlalu parah mengakibatkan kegilaan”, na’audzubillah mindzalik. Setelah mengeluarkan ‘sperma’ kegairahan seks sedikit mengendur – bisa dalam mimpi dan onani (kalo onani sendiri ada pakar hukum yang memperbolehkan dan ada yang melarang –, tetapi jika bisa menimbulkan kenikmatan dan sensasi yang menjadikan candu pada diri seseorang itu, berbahaya. Bahaya untuk alam pikiran (psikis) maupun untuk alat reproduksi (pelir dan zakar akan menurun kekuatannya, kadang sampai ejakulasi dini ataupun sperma encer),  dan hal tersebut bisa berefek pada hubungan partnernya (pasangan hidup). Kalo sampai tidak bisa ditaubati nasuha, identifikasi ke arah ‘kaum sodom’ kemungkinan bisa terjadi, ini yang sangat berbahaya. Semoga tidak sampai segitunya.
Salah satu terapi yang ampuh adalah mengalihkan dirinya dari kesendirian untuk mencari seseorang yang dapat diajak berbagi, “wanita” – selain seks –, atau menyibukkan diri dengan kegiatan yang bisa menjadikan ia tidak sempat memikirkannya – untuk ini jangan terlalu lama juga, berbahayanya kalo sampai takut wanita, hehe. Bisa juga mengurangi konsumsi makan-makanan yang mengandung protein dan bergizi, dari pengalaman penulis, makan-makanan yang dikatakan menyehatkan, malah menjadikan syahwat atau libido meningkat. Kalo naluri seksualitas tidak akan hilang jika masih sehat, namun seksualitas yang tak terkendali dan terlampiaskan dalam berlebihan, efek selain di organ reproduksi, kata orang yang sudah menikah, bisa mengakibatkan kekeroposan pada tulang dan sel-selnya. Padahal semua masalah di sini – menyangkut seks selain pada pasangan (istri/suami) yang sah – , kalo di dalam keagamaan sudah di katagorikan “dosa”, namun ada beberapa rukhsoh (keringanan) dengan syarat-syarat tertentu.
03 12 2016
……