Pada suatu senja, di kala mata ibu mulai ciut dan mengerut, mataku
terpenjara di dalamnya. Di waktu petang, saat mata ibu mulai
berbintang-bintang, aku menjadi kunang-kunang malang yang melayang. Saat
subuh, ketika mata ibu mulai memanah harapan, aku menjadi layu dan
tertusuk-tusuk cahayanya. mata bapak nun jauh di sana, menembus
fatamorgana, menyayat akal dan alamat hatiku. Tubuh mulai tak berdaya,
memikul doa dan harapan papa, hingga papalah gerak lakuku yang kaku
menggenggam bisu mulut ini dari kata-kata yang tak bertuan.
Betapa tidak dan betapa iya diri ini menjadi mata mereka, gerak mereka.
Lenyap keinginan yang tak sanggup ku mentuaninya. Oh gejolak kata, di
mana kau dalam diriku yang menghilang?. Oh gelora gerak, di mana aku
dalam dirimu yang menghilangkan diri?. Selidik kusidik mencari diri kita
yang tak mampu tertaklukkan oleh kalimat rindu, mungkin kau ada?.
Atau aku yang tak sadar melupa pada luka-luka kalian yang tetap terbawa
maju. Aku yang lalai pada keringat-keringat kalian yang menyirami
bumi-bumi ini. Aku yang dzalim pada air mata kalian, yang tertumpah
karena sifat kekanak-kanakkanku. Aku yang mungkin jika pantas dikutuk,
kutuklah aku menjadi surgamu, biar bisa kalian tempati di kala letih dan
lelah tua kalian. Jangan kalian kutuk aku menjadi nerakamu, yang
menambah beban dalam tua kalian. bagaimanapun, aku tak mampu
mengembalikan kebaikan kalian beserta bunga-bunganya. Kini, kunanti
ampunan Tuhan dengan lega. Kini, kunanti sapaan kekasih Tuhan dengan
senyuman. Tak tahu apakah aku masih pantas menerimanya, tetapi jika
bukan pada mereka, pada siapa lagi kulabuhkan hati dan akal ini.
Di Bilik Nyawa, 20 Mei 2017