Iriku Belum
Irimu
Oleh: Legiran
Malam setelah deras mengguyur desa kami, suasana dingin angin laut
mengantarkan melodi ombak pantai selatan, membuyarkan kesunyian malam itu.
Sekitar pukul sebelas malam, rumah Mbah Lasmi tampak sepi, hanya tinggal cucu laki-lakinya,
Paijo, yang belum tidur. Ia adalah pemuda tanggung yang belum menyelesaikan
kuliahnya dan berkunjung ke Desa Jati manakala boring di kos-kosan kota
metropolitan tempatnya bersama teman-teman yang sama-sama lain kota. “Jo… turu,
wis mbengi!” – jo, tidur, udah malam – lirih suara simbahnya mengganggu
lamunannya. “urung ngantuk, mbah…” – belum ngantuk, mbah – balasnya. Biasanya
jam segitu ia masih asik bercanda dengan teman satu kos atau nonton film di
laptop.
Sambil menghisap rokok
kreteknya, tanpa suara manusia, bunyi-bunyian binatang malam menambah merdu.
“jam segini sudah tidur. Ntar jam empat bangun untuk melakukan rutinitas
biasanya.” Membayangkan rutinitas kampungnya. Ada yang ke pasar pagi-pagi buta
sehabis subuh, dan ada yang sebelumnya. Mereka menbawa hasil panenan dari sawah
untuk dijual ke pasar. Yang TK, SD, SMA/K, sudah ada yang siap-siap berangkat
sekolah. Mereka yang tidak naik sepeda motor atau ontel, biasa menunggu
minibus di depan rumah masing-masing. Sedangkan yang rumahnya tidak di pinggir
jalan aspal, jalan sebentar sampai pinggir jalan. Yang naik ontel atau
sepeda motor nanti jam setengah tujuhan berangkat bersama kelompoknya
masing-masing. Begitu juga yang menjadi guru dan pegawai.
Dan yang pergi ke sawah, biasa jam setengah enam sebelum matahari
muncul sudah berangkat. Ada yang merumput, irigasi, mencangkul, memanen,
menyemprot, dan lain-lain sesuai dengan sawah yang mereka punya. Dan Paijo
sendiri, sambil bermalas-malasan bangun dari tidurnya – biasa tidur di sofa
ruang tamu – melihat adik sepupunya, Tini, yang baru kelas empat SD sedang asik
dengan acara anak-anak di pagi hari. Apa saja kartun yang ada di tivi dia hafal
– padahal acaranya ya mengulang-ulang. Sambil sarapan ditemani kartun favoritnya,
entah apa namanya, aku malas menghafalnya. “sini, lihat berita!” pintaku.
“mbah… Kang Paijo nakal.” Jurus andalannya jika aku menggodanya. “jo… ojo
diganggu, ndak reang.” – jo, jangan diganggu, nanti ribut.” Biasa suara
simbahnya melerai dari dapur. Hebatnya Tini ini adalah, sudah tahu kebiasaan
sepupunya itu, kalau ditinggal pasti dipindah acara tivinya, maka ia sering
membawa ramote control-nya atau menyembunyikannya.
“aaaaaaaaaaaaach, endi remote.” – aaaach, mana remotnya? – Ia
merengek sambil pura-pura nangis biar tampak aku mengganggunya. Kemudian biasa,
simbah sebagai penengah. Karena terbiasa seperti itu, kadang aku mendahuluinya,
“mbah… Tini nakal!” sambil melet. “enggak, mbah. Kang Paijo seng nakal.”
Belanya. “hahaha…” tawaku. “lah… nangis wae!” balik ia yang kena semprot Mbah
Lasmi. Ups, langsung diam ia. Kalau ia nangis, “Mbah… Tini nangis.” Langsung
berhenti ia, takut diomelin. Jam enam ia pergi ke sekolah meninggalkan Paijo
yang masih bermalas-malasan di depan tivi. “mbok rono nyapu-nyapu, terus adus, cuci
klambine sisan, lan sarapan.” Komando simbah pada Paijo. “bocah kok
klemprak-klempruk wae kerjaane. La wong aku yo wes ngemek opo-opo seng keno
diemek.” Dengan semangatnya memamerkan kehebatan seorang yang berumur tujuh
puluhan. Seperti robot, aku berjalan mengerjakan apa yang diperintahkan. Paman
Rejo pulang dari sawah, mendekatiku yang sedang sarapan,“simbah itu tidak suka
melihat orang yang nganggur. Usahakan kerjakan apa saja yang bisa dikerjakan.
Jangan sampai nganggur.” Sarannya.
Begitulah, semua pelajaran
filosofis, sosiologis, teologis, matematika, bahasa asing, rumus ini-itu,
doktrin aliran ini-itu, tidak berlaku dan kaku jika sudah berhadapan dengan
simbah satu ini. Mau bantah apa coba, kinerjanya kalah langkah. Paijo yang sok
intelek jika berkumpul dengan teman-teman, bisa ngoceh apa aja dengan gaya sok
tahunya itu sebab buku-buku bacaan. “Hmm, kenapa aku yang muda bisa kalah
dengan beliau ya?” padahal, beliau hanyalah orang tua renta yang tidak sekolah
tinggi. Aku ‘kan anak kuliahan. Kenapa tubuh ini seperti lamban geraknya.
Padahal, jika diamati gerak beliau begitu lamban namun, jika kita bersama
melakukan pekerjaan yang sama, seakan-akan ‘dimensi waktu’ dan ‘dimensi tenaga’
ada jarak yang mengikat. Ada istilah, “pelan tapi pasti” dan kita, “boros
tenaga.” Asupan makanan dengan energi yang dikeluarkan tidak seimbang;
Sedangkan beliau memakan makanan dengan porsi sedikit dan energi terpakai
maksimal. Ini jika dilihat dari rutinitas harian beliau dibandingkan dengan aku
yang menyesuaikannya.
Kalibeber, 05 Maret 2014