Fiktifmu atau Fiktifku
Mr. L
“Silakan masuk, kawan!”, sambil tersenyum Arai mempersilakan masuk
lelaki seumurannya. “sudah lama, tambah berwibawa saja sampean, Kang.”
Nada santai dari tamunya itu membuat setengah kaget Arai. “ngapunten, jenengan sinten nggeh?”
penasaran. “aku Paijo, Kang.” “Paijo..... hem,”. “iya, Paijo konco kuliahmu.
Asem dilalekke.” Agak sewot tamu yang satu ini. Arai merupakan salah
satu orang yang terpandang di desanya, maklumlah, ia adalah penerus dari Pondok
Pesantren milik orang tuanya. “sebentar ya, Mas.” Dengan santainya Arai meng-cut
perbincangannya dengan Mas Paijo, lalu pergi ke belakang.
Tidak lama kemudian, ada anak muda masuk ke ruangan membawa kopi
hitam dan beberapa makanan ringan. “monggo, Pak.” Ramah mempersilakan tamu
untuk menikmati hidangannya, lalu tanpa pamit langsung nyelonong keluar dari
ruangan. Kriiiiet.... suara pintu terbuka disambung suara khasnya, “he he he, sampean
to, tak kiro sopo. Pangling aku.” Muka yang berumur tujuh puluhan masih
segar bugar ditambah muka yang berwibawa. Berpakaian khas kiai kampung namun,
tidak begitu tampak payah. Beda betul dengan tamunya yang masih muda,
berpakaian jas berdasi. Mungkin sekitar tiga puluhan namun, kelihatan letih dan
kurang bersemangat. “ngapunten, Mas. Wes tuo, agak pikun. Nyyoh,
rokok set!” menawarin sambil menyulut satu batang. “wedange, Mas. nyantai
ae, disambi to pangananne.”
Pertemuan mereka berdua sangat asyik, Paijo yang berumur dua puluh
dua bisa kuliah bareng dengan Kiai Arai di salah satu kampus yang ada di Jawa
Tengah. Paijo tidak tahu jika teman sebangku kuliahnya ini adalah kiai gedhe
di kampung halamannya – hanya tidak begitu populer di publik, apalagi masuk
televisi. Paijo dengan pedhe-nya bertandang ke rumahnya karena Pak Arai
ini adalah salah satu korban debat kusir ketika presentasi makalah di depan
kelas waktu kuliah dulu. Namun orang tua ini tidak pernah cerita latar
belakangnya, apalagi sampai masalah ketokohannya. Bisa dibilang beliau ajur
ajer dengan kelompoknya. Padahal ia adalah yang tertua diantara dua puluh
tujuh mahasiswa waktu itu – namanya juga kampus tidak populer dan di ekstensi
yang kuliahnya hanya tiga hari dalam satu minggu, jumat sampai minggu.
Pak Ahmad Laraibafih terkenal paling polos di kelas, suka bertanya
dan minta tolong teman-teman, dan loman. Hanya Paijo saja yang
memanggilnya Pak Arai, alasannya biar gaul dan enak di lidahnya sendiri.
Padahal yang lainnya memanggil Pak Ahmad. “ngopo raimu koyo wong loro ngono?”
tanya Pak Arai. “kulo mboten ngertos nek Panjenengan Kiai, kaget ae pas
ndolan mrene. Arep nagih utang. Biyen jenengan turene ajeng nraktir bakso nek
kulo ndolan mriki.” Sudah kepalang basah, biasa Bahasa Indonesia dan nggak
biasa Bahasa Jawa Halus dipaksa-paksa berbahasa jawa didepan kiai. Begitulah
jadinya. “owalah, bocah kenthir. Egen eling ae bakbakan koyo ngono.
Ha ha ha, aneh!”.
“piye, ono opo?” sambil makan hidangan. “anu, Pak Kiai. Nopo
leres nek jenenge jenengan ajeng di-ndamel jeneng kampus?” jawab paijo
lirih. “jare sopo?” “ngarang ae.” “He he eh.” Suara burung
peliharaan Pak Kiai di luar lagi asik mendendangkan lagu-lagu gembira. Sambung menyambung
berlomba-lomba menyajikan suara indahnya seperti sedang mengabarkan kabar
gembira pada sang pemiliknya. “hemm, arep mbakso nang endi?” sambil menyecek
batang rokoknya yang tinggal seperempat dan mengambil lagi satu batang. “nggeh
kersane jenengan.” Sambil menyeruput kopi di depannya. “awoooh.... aku
iki wes suwi ora ndolan-ndolan. Ra ngerti sopo sek ndodolan bakso enak. Rasane yo
wes klalen.”
Jurang Mafhum , 17 September 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar