ORA MEKSO NGAYAL 3
Oleh: AKU
Jam
tiga sore kita berdua sudah di tempatnya Mbak Suciati. Belum banyak yang
datang, hanya beberapa orang yang sedang asik ngobrol santai di halaman rumah.
“Permisi..” sapa Amel pada temannya. “o, kamu, Mel.. wuih, dia ikut to?” jawab
Justine, menghentikan obrolannya dengan Yasmin. “iya. Katanya penasaran dengan
acara kumpul-kumpul kita.” Saya tersenyum tanda sapaan akrab, meskipun tampak
canggung. “sini, Mel, kita lagi ngobrolin buah mengkudu.” Sambung Yasmin.
Mereka langsung nimbrung tanpa basa-basi. Aku hanya mengekor dan belum bisa
seakrab mereka bertiga. Kita berempat bercanda sambil serius membicarakan buah
mengkudu, pace, kumendengarkannya sesantai mungkin. Satu persatu berdatangan
memasuki halaman rumah Mbak Suciati, sedangkan Mbak Uci, panggilan akrabnya,
belum kelihatan. Elegy sendiri belum tahu seperti apa beliau itu, karena Amel
sendiri hanya menceritakan kalau ia adalah senior dalam perkumpulan ini.
Suasana
sore itu begitu cerah, awan bergerak dengan santainya ke arah barat. Semilir
angin sore sepoi-sepoi mengajak menari pepohonan di pekarangan tempat kita
berkumpul. Gelak tawa dari yang hadir menambah indah persahabat kami. Ada yang
membawa jajanan ringan dari rumah mereka untuk cemilan bersama. Lesehan
bertikar yang terbuat dari anyaman bambu di sediakan tuan rumah dipenuhi
pendatang. Dua laki-laki dan dua perempuan duduk berjejer di hadapan kita yang
membuat letter ‘U’ memandu perbincangan. Pak Tommas, yang tampak sepuh
hadir sebagai tamu undangan. “bagaimana ini, ada isu apa yang sedang mas-mas
dan mbak-mbak yang hangati?” tanyanya pada kami. “atau Mbak Uci mau ngasih
informasi?” Pak Tommas menoleh ke arahnya yang sedang membolak-balik catatan
buku kecilnya. Dari peserta di depanku ada yang berbisik-bisik, entah apa yang
dibisikan pada temannya. Sedangkan Amel di sampingku menggeser-geser layar
HPnya melihat berita terkini.
Di
sini bukan pertanian
Menjual
angin menjual gelap
Tidak
menjual cahaya matahari
Tidak
menjual tulisan kumpulan kalimat
Memahami
dan mengalami kehidupan
Bercengkrama
pada damainya hakikat
Apakah
kau mau menjual hujan
Padaku
si gersang tandus
Saya
termenung teringat ucapan KH. Mustofa Bisri, Gus Mus, pada Februari Tahun 2007,
di Pekalongan, dalam acara “Haflah Seni
dan Dakwah Peringatan Tahun Baru Islam 1428”, beliau membacakan cerpen
terbaiknya, Gus Ja’far – meskipun dapat video dari youtube. Bahwa umat
Islam bertanggung jawab penuh dengan kerukunan umat beragama. Kemudian pertanyaan
KH Mukhotob Hamzah di Wonosobo, “kenapa Umat Islam tertinggal jauh dengan
umat-umat beragama lain?”. Tulisan KH Abdurraman Wahid Tahun 2002-2003 yang
berjudul “Kejujuran Menerima Sejarah” dan “Membaca Sejarah Lama”. Mungkin, jika
saya bertanya pada mereka tentang masalah kekinian, jawabannya seperti Sahabat
Ali Bin Abi Tholib KW. ketika di tanya masalah kepemimpinannya yang semrawut,
banyak konflik internal, “karena jaman dulu para pemimpin mempunyai banyak para
ahli yang alim, sedangkan jamanku banyak orang sepertimu.” Atau mungkin saya
yang kurang update dengan berita baik-baik sekarang.
Sehabis
maghrib, kami berdua pulang ke rumah, Desa Saketi, sampai rumah pukul 21:30
WIB. “Mel, aku kangen kumpul-kumpul di Jogja.” “terus?” “pingin main ke sana.”
“terus?” “besok tanggal 17 main yuk?” “ter….” Belum sempat dia menyelesaikan
katanya, aku sudah menyetopnya dengan meletakan telunjuk jariku ke bibir
manisnya. Dia melotot lalu menggigit jariku. “eh..”, kutersentak. “nggak
romantis lah.” Dia cemberut. “kangen kumpul-kumpul atau kangen si Mei?” teman
cewek yang kuliah di UGM, pernah akrab lewat media sosial, FB. “hmm, aku ‘kan
nggak ada apa-apa dengannya, kok udah dicurigai?” “iya, kita entar nginep di
rumahnya Bu De Lia yang ada di Jogja. Udah lama juga aku nggak main ke sana.”
Raut muka Amel sudah tidak cemberut lagi. “aku tidur dulu ya, Leg.” Capek.
“sana, aku mau baca-baca dulu. Belum ngantuk.” Sambil menghidupkan laptop dan
memilih beberapa buku di rak buku dekat tempat tidur.
Salam
wahai kau gelap
Malam
wahai kau cahaya
Wahai
aku ingin kau
Panas
menyapa dingin
Prak retak gelas
Akukah Gragas, 16 September 2015
Akui
|