ORA
MEKSO NGAYAL 2
Oleh:
KAU
Hari-hari
Elegi tidak setenang biasanya, sewaktu di rumah orang tuanya yang dulu.
Kesibukannya hanya di depan laptop menonton film-film kartun dan dengerin
musik, baca buku, nyuci baju sendiri, dan sesekali membantu ibu masak di dapur,
dan nyapu – itu pun jika disuruh dan kalau mau. Dia bingung dengan keahliannya
yang tanggung. Beda lagi kalau sudah di depan internet, khusuknya
melebihi saat dia sedang beribadah. Dan di dunia nyata, ia menjadi asing. Mata
dan telinganya sudah diciutkan oleh layar monitor yang dikaguminya dapat
menampakan apa-apa yang ada di kepala – hanya ilusi, bisa jadi ia terbodohkan
oleh angan-angan kosongnya.
PRIMADONA
Senja
di kaki langit
terbitnya
di ketiak pendaki
Mata
menatap terbenamnya sang surya terbit
Kubertanya
pada sang buta arti dari terbit dan terbenam
Karena
dosamu akan mata terampuni oleh sang pengampun
Sang
bisu terampuni kalimatnya menjelaskan padaku
Keindahan
yang tampak dan terucap hanya cap
Kulukis
wajahmu dialiran kali
Kau
mengukirku di angin
Pernah
diajak ke sawah oleh Pak De-nya untuk menanam jagung bersama beberapa kerabat
dekatnya, tanahnya liat, belum kelar menanam ia ijin pulang, “Pak De, aku
balik set.”, Tanpa merasa sungkan sedikitpun, ngeluyur pergi, pekerja
lainnya hanya diam melihatnya pergi. “iya..” Sbalasnya. “piye to kui, nembe
kerjo sediluk wes leren?” celetuk Pak Trimo, pekerja tua tetapi masih
semangat dan segar kerjanya. “iyo kae, lanang ora?” tambah lainnya,
bapak setengah baya sebelah Pak Tua. Kemudian ia pergi ke bibir kali dekat
sawah untuk kencing, berdiri menunjukan kejantananya. “wes sekolah ra
rampung – meskipun ‘kuliah’ orang kapung di sana ‘sekolah’ diumumkan
penyebutannya – kon kerjo keset.
KATA
ITU
Wahai
kau Pandito kawulane Gusti Pangeran
Siapa
kau itu menertawakan penipu dalam tangis
Wahai
kau Sajak Balada Gita Kaweruh
Wahai
kau Sender Hakikate Kaweruh
Siapa
kau ini merampok apa yang ia curi
Siapa
aku yang gagal menyusun kalimat cinta
Siapa
aku yang lengah memerankan kehidupan ini
Siapa
aku yang tergeletak dalam timbunan tanah
Siapa
aku yang gagal memahami kalimat cinta
Memerdekakan
kebodohan nafsu
Mencacatkan
kecerdasan akal
Mencacatkan
kelihaian jasad
Menyiksa
jiwa-jiwa bersukma
Apa
aku itu kau
“piye
kabare cah kae yo, Pak?” Tanya Bu Kaji pada suaminya. “yo, piye?”
jawabnya singkat. “lah neng omah bapak ‘kan ngerti, males banget bocahe.” “haha,
emang sengojo kon ngono. Aku wes wanti-wanti karo Pak Haji, takon musuhi cahe.”
“musuhi piye to pakne iki? Ibu kaget dengan ungkapan suaminya tanpa ada
rasa bersedih. “dia ‘kan nggak takut dengan kita, takutnya dengan mertuanya,
jadi bapak ngasih pelajaran padanya.” “o.., ngono to?” sambil
manggut-manggut. “kalau dia di sini, kasihan istrinya. Ia gadis rajin dan
cerdas. Itu hasil didikan orang tuanya. Begitu juga mantu kita itu sangat
hormat dengan kedua orang tuanya.”, Pak Kaji dengan wajah seriusnya kemudian
berubah sedih, entah apa yang disembunyikan dari istrinya. “Pak Haji, kalau ia
macam-macam dan keterlaluan, kerasi saja, kalau perlu, usir saja! Soalnya, kalau
di rumah, kami terlalu memanjakannya.” “santai saja, Pak Kaji, saya sudah biasa
menangani bocah seperti itu.” Lamunan Pak Kaji mengingat percakapannya dengan
besannya.
“bojomu
endi, nduk?” Tanya Pak Haji pada putrinya yang asyik mainan HP di teras
rumah. “lagi beli pulsa di konternya Mbak Siti.” Sambil menoleh ke arah
bapaknya. “sana diajak ke mana gitu suamimu! Jangan di rumah terus.” “ke mana
ya?” “ya terserah, biar akrab dengan lingkungan sini.” “o iya, besok Pak.
Kebetulan ada kumpul-kumpul dengan Komunitas Lintas Agama di tempatnya Mbak
Suciati.” “emang suamimu pernah ikutan acara yang begituan?” “dianya sih
bilangnya belum, makanya besok mau saya ajak ke sana.” “ya sudah, bapak mau yasinan
dulu di tempatnya Pak Dermawan.” Elegi lebih suka mendengarkan dari pada aktif
bicara dalam perbincangan dengan istrinya, yang memang dikenalnya suka
ceplas-ceplos dan suka bercanda. “hmm, Amel ini luas ya pengetahuannya”, Amel panggilan akrab AU saat awal kenal dulu.
Mungkin sudah terbiasa menggunakan rumus panjang (p) kali
lebar (l) sehingga luas pengetahuannya (m2).
Semoga Diampuni, 14 September 2015
Elegi
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar