ORA
MEKSA NGAYAL
Oleh: KAU
Saya
merasa kamu bukanlah aku, meskipun kau mengakui bahwa aku adalah saya. Baik, kita akan bercerita tentang kau saja
dalam tulisan ini. Bercerita kita yang sudah sah dalam ikatan suci pernikahan.
Malam pertama kau membuka pakaian terlebih dahulu tanpa kuperintah, tersisa
kain tipis terbuat dari sutra berbentuk baju kurung – pakaian daster atau
pakaian para putri yunani kuno – yang mempesonaku. “Ini pakaian hadiah dari
ibuku khusus untuk Mas El di malam pertama kita” katanya lirih sambil menunduk
malu-malu. Kumengamati seluruh bentuk tubuhnya yang tampak, aroma parfum yang
halus menusuk hidung, ditambah cahaya lampu yang tidak begitu terang – lampu
tidur. Terasa malam itu begitu panjang, satu menit laksana seribu bulan. “kenapa
Mas El diam saja?” selidiknya karena saya hanya mengamatinya tanpa menyentuh. Hembusan
nafasnya yang hangat menambah tenteram malam itu. Tengah malam para keluarga
dekat yang masih di rumah Pak Haji masih terjaga, sedangkan yang masih kecil
sudah terlelap sejak jam sembilan tadi bersama ibu mereka masing-masing.
Bulan
purnama di Bulan Sura itu yang dianggap keramat oleh sebagian masyarakat
setempat, tahun ini agak berbeda dengan diadakannya pernikahan pemuda berumur
dua puluh tujuh, Elegi Bin Kaji, dan pemudi kembang dusun itu, AU Binti Haji,
menjadi perbincangan hangat bak artis kondang – walaupun tingkat lokal.
Pertunjukan wayang kulit oleh Dalang Sujiwo Tedjo dengan lakon Kurawa Dipingit Batara
Kala, menambah meriah suasana Walimatul Ursy keluarga Pak Haji
dan Pak Kaji. Dalang kontroversial ini membuat cerita pewayangan yang
dikhususkan untuk pemuda dan pemudi kampungan itu, sebab mereka berdua adalah
pasangan yang memang ngefans dengan Pak Dalang Tedjo – walaupun nggak banget.
Meskipun sebelumnya, Pak Dalang belum pernah berjumpa dengan mereka berdua.
Dalam perjuangan Kurawa melawan rasa sakit jiwa raganya setelah kalah perang
merebutkan permaisuri dari Rama dan bala tentaranya, ia menderita selama
sepuluh abad, kini mendapat hati Batara Kala untuk menikahkannya dengan salah
satu anak kesayangannya sebagai obat dan jalan untuk muksa.
Meskipun
pagelarannya tidak sampai mbiyar, subuh, hanya sampai tengah malam,
namun ke-masyuk-an dari kharisma Kurawa setelah muksa yang diceritakan
oleh Ki Dalang menganulir kekecewaan para tamu undangan, khususnya shahibul
hajat. “bagaimana cerita pagelaran wayang tadi?” Dusun Saketi di Desa
Khayal bagai ada halilintar di terang bulan bertabur bintang-bintang saat AU
mendengar suara serak Mas El. “ah, aku tadi capek, jadi nggak begitu paham,
tapi bagus kok, buktinya para penonton ramai memadati pertunjukannya.” Jawabnya
malas, kemudian tersenyum. “hmm, kayaknya aku masuk angin nih.” Rengekku. “emm,
mau minta kerokan saja nanya Kurawa segala?” sambil mrengut, cemberut.
“soale aku grogi nek koyo ngene. Hehe – masalahnya saya nirves
alias salah tingkah kalau seperti ini.” Sambil membuka pakaianku sendiri, sedangkan
ia di belakang punggungku sudah siap menghajar dengan koin seratusan dan balsem.
Paginya
kita mandi keramas supaya tidak mengecewakan bapak ibu, kemudian jamaah subuh
di Langgar depan rumah Pak Haji. Kemudian kita sama-sama bantu beres-beres
rumah yang begitu berantakan seusai acara tersebut yang berlangsung selama dua
hari dua malam dengan puncak acara tadi malam. Dan menjelang Lohor, keluarga
Pak Kaji berpamitan untuk kembali ke Desa Awangawang yang terletak di Kabupaten
tetangga dengan Pak Haji sambil menitipkan anak lanangnya yang manja itu – si
El –, karena ada kesepakatan kedua belah pihak bahwa lelaki dari mempelai untuk
tinggal beberapa bulan di tempat wanitanya sebelum mereka berdua mendapat
tempat yang layak. Sedangkan di tempat Pak Kaji hanya mengadakan selamatan kenduri-an
dengan warga Dusun Pengarep, Desa Awangawang, berserta kerabat dekatnya, dan
beberapa perangkat desa. Warga desa merasa aneh dengan acara ini, karena hal
tersebut tidak umum seperti yang sudah-sudah.
“nang,
koe telong taon neng kene, – nak, kamu tiga tahun di sini.” Pak Haji
membuka pembicaraan sehabis makan malam bersama keluarga. “enggeh, Pak!” jawabku
singkat. Setelah ngobrol beberapa hal dengan keluarga sambil menyaksikan acara
TV di ruang tamu, kami berdua kembali ke kamar. “hehe”, AU nyengir
melihat gelagatku yang mati kutu di depan mertua. “ini, mas tisunya.”
Menyodorkan wadah tisu padaku yang tampak pucat dengan keringat dingin.
“tenang, bro, tenang..” ia mulai memanggilku dengan panggilan biasa saat
sebelum kita menikah. “iya, ini lagi ngilangi ketegangan badanku.” Balasku
sambil mengusap keningku yang berkeringat dengan tisu yang disodorkan olehnya.
“haha” AU dikit ngakak sambil mencubit badanku. Aku pun hanya tersenyum
menanggapi gaya manjanya padaku.
“udah,
yuk online aja!” ajaknya. “ngapain?” “kita meng-upload poto
resepsi kemaren.” “AU, nggak malu?” “ya enggak lah, kamu ‘kan suamiku yang sah
sekarang.” “kita mensen Ki Tedjo dengan upload poto yang bareng
dengannya”, rayunya padaku. “sekalian aku juga mau nge-share foto
teman-teman yang datang dan tamu kehormatan lainnya.” Tampak semangat banget ia
malam ini. Padahal kita berdua belum ada pekerjaan tetap, khususnya saya
sendiri sebagai suami. “dancuk, rai cah kere ngopo nongol neng kene!
Asuuuuu….” Tanggapan Ki Dalang saat kami me-mensen-nya di twitter
dengan poto katrok-ku di antara AU dan ia. “ojo ngece, Ki, iki cahe neng sampingku.” AU membela. “yo
ben, cuk.. nek dasare kere yo tetep kere. heuheu” Ki menambahi. “endi
cahe, urung maturnuwun mbek aku. dungoku mandie?” Tanya pada TL-nya AU. “nggeh,
Mbah.. matur tengkiyu.. pandunganipun panjenengan.” Kumembalasnya dengan
gaya sok tawadhuk. Lainnya ada yang ngucapin selamat, ada juga yang nggojlogi,
goda. Kami pun online sampai tengah malam waktu itu.
Khayalan Kaki Langit,
12 September 2015
Elegi dan AU
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar