Adil
Oleh:
Abdurrahman Wahid
Salah
satu ketentuan dasar yang dibawakan Islam adalah keadilan, baik yang bersifat
perorangan maupun dalam kehidupan politik. Keadilan adalah tuntutan mutlak
dalam Islam, baik rumusan “hendaklah kalian bertindak adil” (an ta’dilu) maupun
keharusan “menegakkan keadilan” (kunu qawwamina bi al-qisthi), berkali-kali
dikemukakan dalam kitab suci al Quran.
Dengan
meminjam dua buah kata sangat populer dalam peristilahan kaum muslimin di atas,
UUD 45 mengemukakan tujuan bernegara: menegakkan
keadilan dan mencapai kemakmuran. Masyarakat adil dan makmur merupakan
tujuan bernegara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kalau negara lain
mengemukakan kemakmuran dan kemerdekaan (prosperity and liberty) sebagai
tujuan, maka negara kita lebih menekankan prinsip keadilan dari pada prinsip
kemerdekaan itu.
Dengan
demikian, sangat mengherankan jika kita sekarang lebih mementingkan
swastanisasi/privatisasi dalam dunia usaha, daripada mengembangkan rasa
keadilan itu sendiri. Seolah-olah kita mengikuti kedua prinsip kemakmuran dan
kebebasan itu, dan dengan demikian kita kehilangan rasa keadilan kita. Sikap
dengan mudah menentukan kenaikan harga BBM -yang kemudian dicabut kembali-,
menunjukkan hal itu dengan jelas, kalau kita tidak berprinsip keadilan.
Tentulah
kenaikan harga itu harus menunggu kenaikan pendapatan, bukan sebaliknya.
Bukankah dengan demikian, telah terjadi pengambilalihan sebuah paham dari
negeri lain ke negeri kita yang memiliki prinsip lain, sesuai dengan ketentuan
UUD 45? Adakah kapitalisme klasik yang melindungi kaum lemah, dengan akibat
mereka harus dihilangkan begitu saja dalam kehidupan kita sebagai bangsa?
Bukankah yang dimaksudkan oleh para pendiri negeri kita, adalah bentuk pemerintahan
yang melindungi kaum lemah?
Jelaslah
dengan demikian, antara ketentuan dalam UUD 45 dan kebijakan pemerintah,
terdapat kesenjangan dan perbedaan yang sangat menyolok. Dapat dikatakan,
kebijakan pemerintah di bidang ekonomi tidaklah didasarkan pada konstitusi.
Dengan
demikian dapat disimpulkan, ketentuan UUD ditinggalkan karena keserakahan
beberapa orang saja yang menginginkan keuntungan maksimal bagi diri dan
golongan mereka saja. Ini adalah sikap dan kebijakan pemerintah yang harus
dikoreksi oleh masyarakat dengan tegas. Keengganan kita untuk melakukan koreksi
itu, hanya akan mengakibatkan kebijakan dan sikap pemerintah yang lebih jauh
lagi menyimpang dari ketentuan UUD 45.
Hendaknya
pun pemerintah bersikap lapang dada dan menerima kritikan atas penyimpangan
dari UUD 45 itu, sebagai sebuah masukan yang konstruktif. Kita memiliki UUD 45
yang harus diperhatikan dan tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Kalau ingin
menyimpang dari ketentuan konstitusi itu, maka konstitusi harus dirubah melalui
pemilu yang akan datang. Seperti halnya pengamatan Jenderal (Purn.) Try
Soetrisno, bahwa rangkaian amandemen yang diputuskan sekarang
telah menjadikan sistem politik kita benar-benar liberal, yang berdasarkan
pemungutan suara terbanyak saja. Tentu ini harus dikoreksi dengan amandemen UUD
lagi, karena hak minoritas harus dilindungi.
*****
Dalam
memahami perubahan-perubahan sosial yang terjadi, kita juga harus melihat
bagaimana sejarah Islam menerima hal itu sebagai sebuah proses dan melakukan
identifikasi atas jalannya proses tersebut. Dalam hal ini, penulis mengemukakan
sebuah proses yang kita identifikasikan sebagai proses penafsiran kembali
(re-interpretasi) atas ajaran-ajaran agama yang tadinya dianggap sebagai sebuah
keadaan yang “normal”. Tanpa proses penafsiran ulang
itu tentunya Islam akan sangat sempit memahami ayat-ayat al-Qur’an. Seperti
misalnya “Hari ini telah Ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian dan
Ku-sempurnakan (pemberian) nikmat-Ku dan Ku-relakan bagi kalian Islam sebagai
agama” (al-Yauma akmaltu lakum diinakum wa atmamtu alaikum ni’mati wa rodhitu
lakum al-Islama diinan). Ayat tersebut menunjukkan Allah menurunkan
prinsip-prinsip yang tetap (seperti daging bangkai itu haram), sedangkan
hukum-hukum agama (canon laws) terus-menerus mengalami perubahan dalam
perinciannya.
Sangat
terkenal dalam hal ini hukum agama (fiqh) mengenai Keluar Berencana (KB), yang
bersifat rincian dan mengalami perubahan-perubahan. Dahulu, pembatasan
kelahiran sama sekali ditolak, padahal waktu itu ia adalah satu-satunya cara
untuk membatasi peningkatan jumlah penduduk. Dasarnya adalah campur-tangan
manusia dalam hak reproduksi manusia di tangan Tuhan sebagai sang pencipta.
Namun, kemudian manusia merumuskan upaya baru untuk merencanakan kelahiran
(tantzim al-nasl atau family planning) sebagai ikhtiar menentukan jumlah
penduduk sebuah negara pada suatu waktu. Dengan demikian, dipakailah cara-cara,
metoda, alat-alat dan obat yang dapat dibenarkan oleh agama, seperti pil KB,
kondom dan sebagainya. Penggunaan metoda dan alat-alat tersebut sekarang ini,
dilakukan karena ada penafsiran kembali (re interpretasi) ayat suci dalam upaya
mengurangi jumlah kenaikan penduduk dari pembatasan kelahiran (birth control)
ke perencanaan keluarga (family planning).
Contoh
sederhana di atas, menunjukkan kepada kita, dengan jelas, betapa pentingnya
proses penafsiran ulang tersebut. Tanpa kehadirannya, Islam akan menjadi agama
yang mengalami “kemacetan” dan menyalahi ketentuan agama itu sendiri yang
tertuang dalam ucapan “Islam sesuai untuk segenap
tempat dan masa“ (al-Islam yasluhu li kulli makanin wa zamanin). Dengan
demikian jelaslah, agama yang dibawakan Nabi Muhammad SAW itu pantas dinyatakan
sebagai sesuatu yang sempurna, karena hanya pada
hal-hal prinsip saja Islam bersifat tetap, sedangkan dalam hal-hal rincian
dapat dilakukan penafsiran ulang kalau telah memenuhi persyaratan-persyaratan
untuk itu.
*****
Dalam
hal ini, kita lalu teringat pada konsep keadilan yang pada prinsipnya berarti
pemberdayaan kaum miskin/lemah untuk memperbaiki nasib mereka sendiri dalam
sejarah manusia yang terus mengalami perubahan sosial. Secara
umum, Islam memperhatian susunan masyarakat yang adil dengan membela nasib
mereka yang miskin/lemah, seperti terlihat pada ayat suci berikut; “Apa yang
dilimpahkan (dalam bentuk pungutan fa’ i) oleh Allah atas kaum (penduduk
sekitar Madinah), maka harus digunakan bagi Allah, utusan-Nya, sanak keluarga
terdekat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, para peminta-minta/pengemis dan
pejalan kaki di jalan Allah. Agar supaya harta yang terkumpul itu tidak hanya
berputar/beredar di kalangan orang-orang kaya saja di lingkungan kalian”. (Ma
Afaa-a Allahu ‘ala rasulihi min ahl al-qurra fa li-Allahi wa li al-rasul wa li
dzil al-qurba wa al-yata wa al-masakin wa ibn al sabil, kaila yakuuna dulatan
bain al-aghniya minkum).
Konsep
mengenai susunan masyarakat seperti dikemukakan oleh ayat suci di atas,
menunjukkan dengan jelas watak struktural dari bangunan
masyarakat yang dikehendaki Islam, baik yang dicapai melalui perjuangan
struktural (seperti dikehendaki Sosialisme dan Komunisme) maupun tidak,
haruslah senantiasa diingat oleh para pemimpin gerakan Islam saat ini. Jika hal
ini diabaikan, maka sang pemimpin gerakan Islam hanya
akan menjadi mangsa pandangan yang memanfaatkan manusia untuk kepentingan
manusia lain (exploitation de l’home par l’home). Jelas, sikap seperti
itu berlawanan dengan keseluruhan ajaran Islam sebagai agama terakhir bagi
manusia. Karenanya, mereka yang memperebutkan jabatan atau menjalankan KKN
dalam mengemban jabatan itu, mau tidak mau harus berhadapan dengan pengertian
keadilan dalam Islam, baik bersifat struktural atau non-struktural?
Dengan
demikian jelaslah, bahwa telah telah terjadi pergeseran pemahaman dan
pengertian dalam Islam mengenai kata “keadilan” itu sendiri. Dalam proses
memahami dan mencoba mengerti garis terjauh dari kata ‘adilu’ atau ‘al-qist’
itu sendiri, lalu ada sementra pemikir muslim yang menganggap, sebaiknya digunakan kata “keadilan sosial” (social justice)
dalam wacana kaum muslimin mengenai perubahan sosial yang terjadi.
Kelompok ini, yang menginginkan pendekatan struktural dalam memahami perubahan
sosial itu. Namun pada umumnya masih berfungsi wacana dari sebagian besar
adalah para pemikir saja, bukannya pejuang/aktifis masyarakat. Tetapi, lambat-laun
akan muncul para aktifis yang menggunakan acuan struktural itu, dan dengan
demikian merubah keseluruhan watak perjuangan kaum muslimin. Implikasinya akan
muncul istilah “muslim revolusioner” dan lawannya yaitu “muslim reaksioner”.
Memang mudah merumuskan perjuangan kaum muslimin itu, namun sulit memimpinnya,
bukan?
Jakarta,
20 Mei 2003