Hmm Apa Ya?
Oleh: Legiran
Setelah membaca surat
al-Hijr dalam al-Qur’an hati merasa tentram, kenapa tidak (?), dalam 99 ayat,
ada satu ayat yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Kami-lah
yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”
(15:09). Wow… bukan basa-basi lagi rupanya Tuhan menjamin kitab yang satu ini,
pertanyaannya, kenapa kita masih saja membacanya (?) jawabannya simple, jika
bukan kita yang membaca, emang agama lain mau membacanya – sambil ketawa-ketiwi
–, umpama mereka membaca, ya gak masalah – toh banyak yang mengakui ‘kebagusan’
bahasa di dalamnya, bukan.
Sebagai
surat cinta dari Tuhan – untuk muslim, jika yang non muslim punya kitab
sendiri – yang di situ diterangkan
menjadi surat cintaNya untuk semua makhluk. Kenapa kalimat tadi bertentangan,
“untuk muslim” kemudian ditutup “semua makhluk” dan di tengahnya ada “non
muslim”. Santai saja, kita baca kitab mereka juga gak dimarahi oleh mereka,
“gitu aja repot (!)”, “kata siapa (?)” hehe… indahnya, kebersamaan ini.
Bagaimana mereka tidak baca – memakai mereka, sebab penulis juga tidak serajin
yang pembaca sangka “rajin iqro’” –, sedangkan bacaan yang lain masih antri di
tempatnya masing-masing – maklum suka baca-baca bacaan “komik”.
Aktualisasi
bacaan ‘tekstual’ dan ‘kontekstual’ dalam surat cinta (al-Qur’an) kata beliau,
KH. Mustofa Bisri – kyai plus budayawan, setahu penulis –, “semacam tamparan
bagi para pembacanya” dan jika dikaitkan dengan kontekstualnya, melihat
problematika yang ada, kemudian dikaitkan dengannya, hmm. Aduh, lama-lama
menjadi sok suci nih penulis, bagaimana sok suci, emang kenyataannya begitu – dalam kesadaran nalar dewasa
sekarang ini. Kembali di surat al-Hijr, yang setelah googling, teman
saya bilang bahwa itu nama sebuah gunung di Negeri Samud – hayo daerah mana?
Tebak tempat. Dibaca sendiri-sendiri aja ya, bagus kok, entar ada ayat yang
menjelaskan bagaimana Tuhan dengan Maha SombongNya melindungi rahasia gaib dan
pemberian rezeki untuk semua makhluk.
Jika
diperlebar lagi tentang mufasir – ahli tafsir dari zaman dulu sampai
sekarang – masih saja ada penemuan-penemuan yang ada dan keluar jika
benar-benar ditelaah dan berani mempublikasikan. Mereka para mufasir –
sebagaimana yang sedikit penulis pelajari – harus ada kesepakatan bersama untuk
menjaga agar tidak menjauh dari tujuan surat cinta diturunkan, bukan. Baik
‘pemetaan ayat’, tetang sosial, sains, hukum, dll yang kesemuanya menuju yang
namanya “akhlakul karimah” Nabi Muhammad saw. jika di sini tempat kita belajar,
ada al-magfurlah KH. Muntaha al-Hafidz. Soalnya, beliau saja masih menganggap
belum atau masih jauh dari apa yang disandarkan oleh muslim zaman nabi saw. dan
sahabat, yakni gelar “manusia al-Qur’an”, sebagaimana yang dituturkan oleh
sayyidinah Aisyah ra.
Udah dulu
ya, hmm, entar dimarahi ‘syair tanpa waton’-nya manusia aneh plus presiden
aneh, Gus Dur, seperti bait, “koor pinter dongeng, nulis lan maca” (hanya
pintar bercerita, menulis, dan membaca). Semoga bisa jadi koreksi bersama,
okey… sebagai penutup, qola huwa, “mocoho walau sak ayat”
(membacalah walaupun hanya satu ayat). Dan selentingan KH. Umar Zaed, “qulhu ae
lek” (al-Ikhlas saja, man). Hmm… maaf jika salah… semoga kita – khususnya
yang nyumbang wacana tulisan ini – selalu dalam rahmat dan ampunNya.
Wonosobo, 21 September 2013
Salam
|
pengetik
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar