INDONESIA DALAM KETIDAKPASTIAN, “PASTI TIDAK?”
Oleh: Legiran
Hukum dan pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014 mendatang
adalah isu miring yang di-nash-kan dalam memori setiap manusia di
Indonesia, baik yang ‘aposteriori negaraisme’ ataupun yang ‘apriori negaraisme’
– lima tahun sekali itu terjadi, bahasa ‘necis’-nya, pesta demokrasi. Dalam twitter
dan blogger penulis, sudah pernah menulis bahwa saya mendukung KH. A.
Mustofa Bisri jadi Presiden RI – hal itu penulis sampaikan karena pernah mimpi
demikian, sebab ada akun twitter Trio Macan yang populer menganalisis
calon presiden, dan itu pakai bukti otentik – namun, tanggapan beliau malah,
“mungkin Anda sedang pusing”. Penulis pun ngeyel sambil balas, “saya
kira yang pusing bukan hanya saya.” Dan fenomenal tersebut menjadi perbincangan
yang panjang, sampai-sampai PBNU mengadakan Rapat Pleno di kota penulis
menetap, Wonosobo, untuk wilayah Jawa Tengah.
“multi-kemungkinan”, ‘kata ngawur’ yang penulis sampaikan kepada
akun Sudjiwotejo – Ki Dalang yang sering nongol dengan massanya Presiden
Jancuker – yang ternyata mendapat tanggapan ‘bocah caper’ alias anak yang cari
perhatian. Kejadian itu berlangsung sebelum puasa kemaren, ya sekitar bulan
Juni – kalo nggak salah – yang lalu. Alasan penulis simple, “mbok kalo
cari presiden ya yang nggak kedun-yan (gila dunia)”, melihat hidup
beliau sezaman dengan Presiden RI keempat yang ber-title ‘KH’ (Kyai Haji). Masalahnya, mau milih Emha
Ainun Nadjib (Cak Nun) – budayawan plus penulis – , malah ‘urakan’ orangnya,
jelas nir-minder penulis. Prediksi penulis, kalo zamannya KH. Abdurraman Wahid (Gus
Dur) yang dibubarkan adalah Departemen Sosial, takutnya, Cak Nun (sapaan akrab
Emha Ainun Nadjib) malah membubarkan Presiden Republik Indonesia – padahal
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut Demokrasi Presidensial.
Wah, penulis mulai ngawur nih. Khasnya, calon presiden itu harus
punya kendaraan partai untuk mengusung mereka, kalo nggak punya kendaraan mbok
diajukan secara voting, temanya, Presiden Ad-hock – seperti teater Cak Nun,
Nabi Ad-Hock. Nah, inilah yang namanya membicarakan “mantan” itu menyakitkan,
sebab – alasan populer di remaja – slogan “mantan buang pada tempatnya” –
bergambar tempat sampah, ironis sekali. Ya udah, penulis tinggal cemes
aja pakai istilah, “JASMERAH”, Jangan Lupakan Sejarah – coba bayangkan jika Cak
Nun dan Gus Mus jadi Presiden dan Wakil Presiden! Penulis jamin, zaman
Reformasi Negaraisme “pasti” sedikit reformis lagi dibandingkan reformasi
sebelumnya – itu jika kita berdoa semua, dan membantu. Caranya? Jangan tanya
penulis, dong, ‘kan belum jadi sarjana, jadi, belum ada “nilai kepastian” yang bertentangan
dengan “ketidakpastian”. Kuliahnya jurusan Hukum Islam, Ahwalus Sahsyiah,
bagian “perkawinan” namun, masih jomblo.
Apologi awam anak bodoh
seperti penulis ini, mereka berdua itu sudah bosan hidup “kangen pada Sang
Pencipta”, kapan lagi kita yang muda-muda punya ‘mimpi indah’ menikmati negara
damai – buat referensi dan uswah kami yang mungkin duluan ‘banyak
pengkhayal’ alias ‘mayat hidup’ atau zombei (orang bodoh itu ibarat
mayat hidup – kata pepatah kuno). Sedangkan masalah “hukum”, ‘kan sudah ada
Indonesia Lawyer Club (ILC), ditambah Perguruan Tinggi Hukum dimana-mana sudah
banyak meluluskan sarjana hukum, bukan. Dan lagi, di dunia ini tidak hanya ada
satu negara, masak kerja keras Gus Dur tidak diteruskan – siapa yang tidak tahu
Presiden Pelancong Manca Negara yang hanya sebentar jadi Presiden tapi berani
mengata-ngatain atau menyetempel D-PR M-PR seperti Taman Kanak-Kanak (TK).
Mereka berdua – menurut penulis – sedang malu-malu kucing, bahasa orang tua, tawadu’
(rendah hati) – dan jika ditanya siapa yang pantas jadi Presiden, mereka
serentak jawab, “yang muda”.
Wonosobo, 13 September 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar