Tunawisma,
adalah idiom yang mengatakan bahwa ada ‘gembel’, ‘pengangguran’, ‘gelandangan’,
dan ‘sampah masyarakat’, benar begitu? Kalo di perkotaan yang banyak
membutuhkan tenaga kerja dan sibuk, itu hal yang wajar dikatakan seperti itu –
manusia yang keluar dari konteks sibuk bekerja dan berkarya – namun, jika di
‘desa’ ada ‘pengangguran’ itu pertanyaan besar? Apalagi seorang lulusan
universitas. Bisa jadi dia ‘gengsi’ menjadi masyarakat desa? Apabila umumnya
bertani, mengolah tanah sendiri (kebun atau sawah) atau menjadi buruhnya
pemilik tanah, mau tidak mau ia harus menjadi salah satu dari mereka, bukan?
Dan
sistem kekerabatan yang begitu kental menjadi salah satu jalan untuk menjadi
relasi dalam bekerja. Umur 25 tahun adalah pemuda-pemudi yang sudah seharusnya
menjalani kekeluargaan. Ia lulus kuliah tanpa nyambi kerja sudah
menginjak umur 27 tahun, minimnya skil dalam bermasyarakat dan berimprovisasi
akan kreatifitas bekerja dan bekarya merupakan ‘hantu’ yang menakutkan. Kalo
mencukupi dirinya sendiri bisa baik-baik saja, tetapi ia mempuyai kewajiban
menjadi ‘manusia sosial’, dengan diri sendiri, keluarga, kerabat, tetangga, dan
pemerintahan. Ia lagi fokus dengan ‘kepenganggurannya’, dengan prinsip tidak
mengganggu yang lain dan menyalahi lainnya. Individu yang mendekati egois, itu
bukan ‘nafas kehidupan’ desa.
Biasanya,
jika ‘belum menikah’ ia belum dikenai ‘ikatan perjanjian tak tertulis’ dalam
masyarakat seperti, kondangan, muyen, mengurus kematian, dan sebagainya,
namun mempunyai andil menjadi pembantu (pelayan atau sukarelawan) jika ada
suatu hajatan di masyarakat khususnya dengan kerabat dekatnya. Kalo tidak
begitu, biasanya merantau menjadi tradisi pemuda desa. Jika ia tidak mempunyai
‘modal lahan’ dan ‘modal uang’ untuk menjadi syarat atau alat untuk ber-tetekbengek.
Semacam itu juga untuk interaksi dengan sepupu, adik-adik, keponakan yang
statusnya mereka masih sekolah, bahasa lumrahnya adalah ‘ngasih sangu’ buat
jajan mereka. Sebab dulu orang tua mereka juga melakukan hal semacam itu pada
kita ketika kita masih kanak-kanak.
Pangangguran
ini untuk melakukan semacam itu ‘materi’ berupa ‘uang’ mungkin sangat sulit,
jika ia juga ‘pemuda boros’. Lebih besar pasak daripada tiang. Ditambah ‘malas’
membantu kerabat, dalam hal merawat lahan atau rumah – modal tanaga dan
keikhlasan – tanpa bergaji merupakan ‘tabungan’ masa tua. Juga termasuk menjadi
tempat kita menambah keahlian kolektif. Kita sedang membicarakn ‘pemuda’ –
jejaka desa, bukan ‘pemudi’ – perawan desa – yang biasanya hanya menunggu
pinangan seorang yang berani dan membuat tertarik ia untuk bersama berkeluarga
memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing. Skill dan
ketrampilan pemuda menjadi modal utama untuk menarik ‘pemudi desa’, baik dalam
segi masyarakat yang hubungannya vertikal maupun horizontal – kesolehan social
dan kesolehan individu – untuk menjamin ketentramannya.
Kenapa
hanya kesadaran akal bukan kesadaran real? Cuma sadar tetapi tidak
teraplikasikan dalam kenyataan. Ah, kenapa begini? Maaf Tuhan, saya belum mampu
menjadi apa yang Engkau sukai, masih belum mampu bersyukur sebaik-baikya
syukur, masih belum mampu bersabar sebaik-baiknya sabar. Assalamu ‘alaika ya
makarimal akhlak, ngapunten tansah ngisin-ngisinke panjenengan
10 Maulud 1438/ 10 Desember 201