Kamis, 23 Februari 2017

DERAP DEREPER



Setiap tahun para petani jika menanam padi, akan mengalami dua kali panen. Jika musingnya adalah musim penghujan. Di dalam panen padi yang bersamaan itu, ada beberapa orang yang tidak mempunyai sawah ikut nimbrung berpanen ria – meskipun terkadang harus menebalkan telinga dari sengatan mulut pemilik sawah. Siapa mereka? Mereka adalah ndereper dan ngasaker – golongan yang pertama (ndereper) adalah mereka yang diajak secara resmi oleh si empu untuk membantu memanen; yang kedua, mereka yang datang dari berbagai daerah untuk mengambil sisa-sisa dari panen (biasanya ibu-ibu) yang tidak begitu diprioritaskan oleh pemilik. Para ngasaker biasanya berinisiatif membawa barang dagangan yang bisa dinikmati di sawah – yang ini melakukan “barter” (‘barang dagangan’ dengan ‘gabah’).
Ndereper lelaki mereka melakukan tugas nyerit (memotong damen “pohon padi”, memasukan ke alat pemisah gabah “padi yang berkulit”, dan mengangkati “ngelangsir”­ – 50 kg. lebih – ke tempat pemilik setelah masuk dalam karung. Para lelaki biasanya mendapatkan satu karung, ibu-ibu mendapat setengan karung, sedang sisanya menjadi milik si empunya. Kebanyakkan ndereper adalah para kerabat dekat dan tetangga dekat pemilik. Si pemilik menyediakan pembekalan untuk mereka yang membantu, sedangakn ngasaker membawa sendiri bekalnya untuk mengganjal perut masing-masing. Meskipun terkadang ditawari oleh pemilik sawah – biasalah basa-basi orang jawa – namun, menolak dengan senyum sopan. Sedikit tanya-tanya asal pe-ngasak dan bercerita ngalor-ngidul menambah keharmonisan di terik panasnya matahari. Penulis pernah mengikuti salah satu tetangga dan kerabat, dan lempoh “terkapar”, padahal mereka, baik yang bapak-bapak maupun yang ibu-ibu lelah-letih bumbu penyedap hidupnya. Dasar aku pengeluh. Gatal-gatal dan perih jika menempel ke damen dan gabah, karena belum terbiasa. Tidak mungkin habis dimakan sendiri, terjual untuk mereka-meraka di sana-sini yang membutuhkan.
Hasil dari berbagai aktifitas tersebut, selain dijual, adalah untuk kebutuhan sehari-hari – makan, biaya sekolah anak, dan biaya lain-lain – , dan untuk sedekah kegiatan di desa – kerabat nikahan, kematian, melahirkan, selamatan, ngirim arwah, dan hajatan lain sebagainya. Sudah menjadi adat setempat, jika bukan petani mereka mengimbangi situasinya dengan memakai isi dompet. Yah, begitulah. Jelasnya ada hal yang tertinggal dalam proses di atas, pengeringan dan penggilingan. Jika penulis melakukan ngepe gabah (pengeringan dengan terik matahari), alih-alih membantu ibuku sendiri yang seperti tidak punya capek mengalahkan penulis dalam gerak. Ketika gabah keluar dari karung ke atas lantai – ataupun apapun yang menjaganya agar tidak ke tanah –, terik mentari memancarinya laksana biji-biji emas yang inah dipandang mata (kalo menyuntek-nyadari karung membuat gunungan-gunungan)  tambah indah. Membolak-balik; menjaga dari serangan ayam-ayam dan ternak sejenisnya yang kelaparan, baik punya sendiri atau tetangga, yang siap mematuk dan menyosor jika kita tidak pintar-pintar menjaganya di terik panas matahari.
Dalam waktu me-ngepe, kelak kita manusia akan ter-epe di terik matahari yang berjarak satu jengkal, dalam hati sedikit berdoa, semoga kita mendapat naungan safaatnya saw., karena kita mengaku-aku menjadi umat yang maaf, penulis sendiri seperti lebih banyak mempermalukan beliau saw. yang bergelar sang karimal akhlak. Itu kalo lagi panas. coba kalo masih dirundung mendung dan hujan, saat panen hujan, dalam karung beberapa hari tanpa panas, bisa-bisa tukul (tumbuh) di karung, lalu menjamur karena tidak segera menjemur, menjadikan jemu hati setiap manusia. Dengan adanya ujian seperti itu, hati-hati dengan tetangga yang dikit-dikit umep alias suka marah, karena penulis pernah kena semprot caci maki sumpah serapahnya, gara-gara persoalan penulis nyantai dalam situasi seperti itu, sedang ia panik – saya cuma dua bagor (karung) dan ia lebih dari delapan bagor. Niat ingin bercanda berubah menjadi gemerungsung-nya hati dan pikiran. Mungkin selain panic, ada faktor lain yang tidak sengaja kulakukan membuatnya menjadi kalap. Untung masih bisa dikondisonalkan. Terima kasih Tuhan.
Gading Klenton, 18/02/2017

Salam Sayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar