Area Jilbab
Oleh : Legiran
Pengalaman pribadi sahabat saya dan penulis tentang masalah wanita
berjilbab, dia bercerita tentang pertanyaan yang dilontarkan oleh penanya pada
calon pegawai sebuah koperasi syariah kita sebut saja “Al-Huda”, saya bermaksud dan menitikberatkan pada “arti”-nya
– “petunjuk” dalam bahasa arab. Ketika interview pertama sampai
terakhir, calon pegawai tersebut sengaja tidak berjilbab, meskipun ia tahu jika
tempat kerja itu basic-nya Islam. Dan pengalaman penulis sendiri ketika
Kuliah Praktek Lapangan (KPL) di Pengadilan Agama (PA), yang waktu itu melihat sidang
pertama – ada wanita yang mengajukan khuluk “menggugat suami” tanpa
mengenakan jilbab. Melihat kesamaan ini, penulis akan menelisik bagaimana pengaplikasian
hukum islam dalam suatu lembaga yang berbasis Islam mengenai hukum berjilbab
menggunakan perbandingan hukum formal (nasional) dan hukum fiqh (islam) dalam
konteks sosial.
Dengan melihat dua contoh diatas, untuk lebih luas lagi, pengalaman
sahabat-sahabat yang bersekolah atau kuliah di lembaga berlabel islam. Dimana,
para pelajar wanita hanya menggunakan jilbab pada saat di tempat belajar – ketika
sudah di luar sekolah atau kampus, mereka memakai pakaian biasa “keseharian”
yang lebih “enjoy” (pengakuan mereka) tidak memakai jilbab dan menggantinya
dengan pakaian kekinian yang bermodel korean. Fenomena ini tidak hanya terjadi
di Wonosobo – tempat penulis tinggal – namun, di luar khususnya kota besar,
seperti Kota Jogja, Jakarta, Semarang, Surabaya dan kota lainnya. Jika kita
melihat di kota motropoli, itu sudah lazim, faktanya, di pedesaan pun juga
mengalami hal tersebut.
Kunci dasar Islam rahmatan lil’alamin, dengan istilah
syariah, hukum fikih, dan hukum adat – hukum yang mengalami revolusi dan
evolusi dengan permasalahan yang semakin menyublim ke hal-hal fundamental,
lihat “Tradisi Arab di Tengah Indonesia yang Multikultural” yang ditulis oleh
Dr. Nur Syam dalam bukunya “Madzhab-Madzhab Antropologi” halaman 203-213. Jika masih
tetap menggunakan symbol Islam untuk memaksakan manusia, baik
menggunakan system aturan lembaga ataupun menggunakan “charisma”, yang
terjadi adalah “keterpaksaan” dan “ketidakrelaan” universal yang “tersudut”
dengan kesimpulan “manusia munafik” – padahal itu adalah “kesadaran”. Di dalam
bingkai budaya simbolis hal ini menggambarkan adanya “kekosongan sistem nilai
bersama” atau common value yang dijadikan pegangan bersama – Dr Nur Syam,
tetang membahas masalah “Budaya dan Signifikasi Rekontruksi Upaya Nasional”
halaman 197-202
Untuk hukum fikih menanggapi masalah yang kompleks ini, mungkin
tawaran Kiai Sahal Kajen dengan mengutip kutipan panjang kitab Syarqawi –
salah satu kitab utama mazhab Syafi’I – yang harus memakai “kompleksitas hukum fiqh”
– lihat di “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” yang ditulis KH. Abdurraman
Wadid. Sejalan dengan ideologi Pancasila yang sila pertama meniadakan “umat islam
wajib menjalankan semua syariat agama”.
Kembali pada fenomena “Area Jilbab”, di dalam lembaga itu jika
menerapkan peraturan untuk menggunakan jilbab “wajib jilbab” kemudian di luar
kelembagaan tidak perduli – hanya akan mengelus dada dan akan menegur dengan
sindiran jika sudah di tempat “area jilbab” – apa tidak lebih “munafik lagi”
itu namanya? Sedangkan di lain pihak, sebuah perusahaan membuat peraturan
larangan mengenakan jilbab “area bebas jilbab” selagi jam kerja, why? Jawabannya,
“pindah saja dari perusahaan itu, toh rezeki tidak hanya disitu.” Masya Allah.
Ini bukan masalah munafik, bukan? Hukum dewasa ini, jika sudah dikatakan “jahiliyah
modern”, berarti kita yang benar-benar “jahil” – tidak bisa menahan
sesuatu yang oleh Allah sudah diantisipasi “zina”.
Menurut saya, jika kita semua dalam bersosial,
semua manusia adalah saudara – baik saudara sepersusuan, saudara dekat, dan
saudara jauh, yang wajib saling mengasihi “menebarkan salam ‘keselamatan’ pada
semua” – yangmana di dalam “hukum aurat” sebatas yang mereka boleh melihatnya –
lihat ensklopedia ijmak ulama (alih bahasa KH Mustofa Bisri dan KH. M Sahal Machfud) tetang aurat saudara dan mahram halaman 754-755, sedangkan
memutus persaudaraan hukumnya “haram”. Dalam pergaulan kekinian, sebenarnya
bukan masalah “jilbabnya” tetapi masalah pada “akal dan hati nurani”. Akhlak ideal
bab interaksi aurat adalah akhlak yang bisa kita analogikan kita hidup di dunia
maya, meskipun syahwat dan hasrat bergejolak, kita tetap tidak bisa memegangnya
kecuali sesudah menikah.
“Menyetubuhi istri adalah sama
halnya dengan pahalanya sahabat yang membunuh 70 orang kafir ketika berperang
pada masa itu” – hadis tentang kisah sahabat yang masih mengasah pedang saat
usai fathul mekah. Selain itu, “apa tidak menyenangkan janji Tuhan
tetang bidadari surga yang perkamar isinya adalah 70 bidadari.” Masak mau
dipertaruhkan hanya dengan “jepitan” yang hanya dapat dinikmati belasan menit,
umur kita di dunia tidak sampai 70 tahun – jika ada, pastilah jarang.
Akhirnya, kisah pengalaman sahabat saya, ketika interview terakhir
ditanyai, “saudari ini tahu kan jika lembaga ini ber-basic?” jawabanya
adalah “tangisan” calon pegawai itu tepat di hadapanya. Dan jika di Pengadilan
Agama, “besok sidang berikutnya pakai jilbab, ya mbak!” perintah salah satu
hakim tua – waktu itu hakimnya ada tiga yang benar-benar menyudutkannya
(dilihat dari gelagat respon wanita yang jadi “pendakwa” sang suami sebaliknya
malah “terdakwa” oleh hakim sidang).
Wonosobo, 15 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar