Kaya Buat Orang Lain
Oleh: Legiran
Dalam dunia bersosial ini – terserah pemetaannya mau pakai petanya
siapa dan model apa – akan mengenal yang namanya dominasi-dominasi untuk
menjadi ink dalam lembaran ‘kertas sejarah’. Pendeskripsian tokoh adalah
‘mutlak’ – menjadi keharusan – yang mesti ada, bahkan dalam pewayangan, fabel, dan
kitab suci pun begitu. Jika dalam simbolis yang ada di goa-goa dan bebatuan – zaman
purbakala – mereka menjadi ‘batu’ dan ‘warna-warna’ untuk menggores ‘muka’ di
atas permukaan tentang tokoh pula. Fenomena ini adalah merupakan “sistematik
nalar” pada penciptaan manusia atas rencana Tuhan untuk ‘disertasi’ pencapain
gelar ‘Doktor manusia semesta’ – melihat manusia majemuk dikhususkan ke tokoh
(dalam sejarah), saya mengkodifikasipreferensikan bahwa kesimpulannya adalah
penokohan itu semacam dialektika pembentukan “manusia ideal”.
Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim,
(sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya.) – dalam al-qur’an disimbolkan atau dilabeli sebuah ‘buah tin’,
melihat ‘ketassawufan umum’ bahwa analogi tauhid pada sebuah ‘pohon’ buah
adalah aplikasi dari “akar, batang, dan daun” (iman, syariat, dan ihsan). Bagaimana dengan cabang-cabang –
ranting-ranting yang dijadikan bertengger buah – yang berkotak-kotak, berkota-kota,
berpartai-partai, berbani-bani, berbangsa-bangsa, dan sebagainya? Siklus analisa
keputusan untuk menguatkan bahwa gelar ‘Doktor manusia semesta’ yang ideal –
dalam “Analisa Keputusan”, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, MSc dan Ir. C.
Listiarini Trisnadi, hlm 30. Memakai:
Gambar 1
Dalam gambar di atas hanya digunakan dalam “manajemen usaha dan
proyek” saja, namun saya ingin meminjamnya untuk analisa dalam “manajemen
membentuk manusia semesta”. Saya juga sedikit menelisik gaya “Antropologi Kiai”,
ditulis KH. Abdurraman Wahid dalam buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” yang
ciri khasnya “tokoh lokal” itu mempunyai cara tersendiri untuk menyambungkan
tali-tali yang terputus oleh ‘paradigma awam’ – refleksitas justifikasi bahwa
yang ‘tidak sepaham’ dianggap salah dan bersebrangan – yang cenderung sinis dengan rencana Tuhan
lewat “sistematik nalar” manusia.
Kemudian melihat mitos akan fenomena alam – jawa yang me-wanti-wanti
(memperhatikan) hubungan di ‘antara’ perpindahan waktu (malam-pagi, sore-malam),
asumsi waktu surup setan-setan sedang berkeliaran “menekankan pada ‘penghubung’
cahaya dan gelap” – yang relevan dengan
islam memberi ‘area bebas’ untuk jeda ‘praying free’ (jawa – prei sembayang)
– haram untuk melakukan shalat pada waktu itu (keluar dari ‘pengecualian’),
namun ditekankan untuk berzikir “mengingat Allah dengan berkumpul bersama
manusia lain”.
Analogi yang biasa saya alami saat mengamati, kekuatan pancaran
"cahaya" dan kepekatan "kegelapan", contoh: lilin-gelap-matahari;
senja-malam-pagi. Yang penulis anggap istimewa adalah di
"jeda/setrip/penghubung" dan "antara/tengah" dalam kedua
analogi tersebut. Bukan bahas atau mempertanyakan "wali Allah" dan "wali
Iblis" yang mempunyai keistimewaan yang sudah-sudah. Kita berdialektika dengan
kebodohan kita yang bergeneralisasi dan bukan tentang "komunisme"
atau "Marxisme", kita bahas "emboh" 'jawa' – “au ah gelap”,
jawaban populer saat ini di kaum muda. Kesemuanya itu, dari pengalaman akan
ketakutan kita 'santri' dan 'jawa' yang wajib menghormati pada yang
dianggap-teranggap "lebih" dalam interaksi sosial bertingkat atau
berkelas.
Tema “Kaya Buat Orang Lain” dimaksudkan untuk memunculkan ‘kesadaran’
bahwa ‘kekayaan’ kita bukan untuk diri sendiri namun, sebagian untuk
kebersamaan. Saya ber-khusnudzon kepada Tuhan, jika Dia memerintahkan
kita – muslim – berzakat, sepertinya agak ‘merendahkan diri’, kok begitu? Jelasnya,
Maha Kaya, Maha Memelihara, Maha Memberi, Maha Menanggung Makhluk, dan maha-maha
Kesempurnaan lainnya. Berarti, jika kita berasumsi bahwa manusia itu maha
egois, maha kikir, maha pelit, dan maha-maha individualisme yang bertentangan dengan
teori zoon politicon sudah diantisipasi olehNya, Sang Maha Individualis
Sejati, qiyamuhu binafsihi dan wahdaaniyah.
Kekayaan dalam perspektif harta,
cahaya “kharisma”, dan ilmu yang mengkristal menjadi ‘tokoh’ sebenarnya harus
dilakukan ‘penyulingan’, supaya semua manusia dapat bermanfaat. Sehingga gelar ‘Doktor
Manusia semesta’ dapat diperoleh untuk mewujudkan visi misi Tuhan dalam
menciptakan manusia – sebaik-baiknya bentuk penciptaanNya.
Gambar 2
Coba berimajinasi dan menganalisis gambar di atas dengan memakai
pendekatan: sumber adalah Tuhan, pengedapan 'batu kali' adalah manusia, penyuling adalah sistematik
nalar (air limbah adalah sifat jahat, ijuk 1 adalah intropeksi sosial, pasir halus 1 adalah
kerendahan hati, ijuk 2 adalah
intropeksi individu, pasir halus 2 adalah khusnudzon “prasangka baik”,
arang tempurung kelapa adalah pelepasan baju ketokohan, kerikil adalah
spontanitas atau refleksitas sosial, batu adalah membangun bangunan sosial, dan
bak penampung adalah pengarsipan dari kesemuannya. Analogi tersebut sudah
dicontohkan oleh ‘Doktor Manusia Semesta’ sejati, beliau Nabi Muhammad – kekasih
Allah, kekasih alam, dan kekasih manusia.
Wonosobo, 18 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar