“Tak Ada Kangen Bagimu Dariku Untuk Hal Itu, ‘itu prinsip’.”
Oleh: L.G. Ran, S.Sy
“Ayolah, lakukan dengan cepat, jika itu yang kau inginkan.”
Gerutunya. Semua terjadi begitu singkat yang berkontinunitas dari Sembilan
bulan terakhir ini meskipun tidak adanya relevansi yang intensif. Aku bercumbu
dengan buku-buku, akal dan status yang telah dewasa, menuju yang namanya
Sarjana Strata Satu Fakultas Hukum Islam (S. Sy ‘Sarjana Syariah’) di
Universitas SAINS al-Qur’an (UNSIQ) Wonosobo Jawa Tengah (sebelumnya dikenal
IIQ). Berawal sebuah Pondok Pesantren Tafidzul Qur’an (PPTQ) al-Asy’ariah pusat
‘kalibeber’ (nama sebuah desa besar dengan Kecamatan Mojotengah yang dulunya
didirikan oleh Kyai Besar al-magfurlah Mbah KH. Asy’ari, penerusnya KH. Muntaha
al-Hafidz ‘Mbah Mun’ panggilan akrab beliau untuk penduduk lokal, pencetus al-Qur’an
Akbar), kemudian ke cabangnya – tempat yang lebih intens dalam pengajaran
hafalan Qur’an dengan KH. As’ad Alh (santri mbah Mun yang dipasrahi untuk mengampu para penghafal al-Qur’an) – di
Ngebrak yang sekarang lebih dikenal dengan nama PPTQ Baitul Abidin Darussalam (BAD)
Sarimulya.
Sekarang, saya malah berada di sebuah kos yang terletak di
tengah-tengah antara keduanya. Di Desa Jambean, yangmana disini berdiri lembaga
penghafal al-Qur’an juga, namun metodenya adalah Qiraati, Tempat Pendiddikan
al- Qur’an (TPQ) Sa’adatul Islam Jambean, cabang Wonosobo. Dalam hal ini,
sangat mengherankan, saya malah tertarik dengan kegiatan ‘Islam Kebudayaan’
yang di populerkan oleh Emha Ainun Nasjib ‘Cak Nun’ dari Jombang, berpusat di
Kota Bantul Jogja, dengan sebutan ‘maiyahan’. Berawal dari salah satu senior di
pondok dulu, yang iseng-iseng mengoleksi dialog-dialog para ‘maiyah’ dalam
bentuk mp3 dan video yang beredar di youtube. Kebetulan waktu itu
di kamar kami lagi banyak beredar video ‘dialog antar agama’, setelah
mendengarkan diskusi dari mp3 kamar tetangga – senior itu berada di
kamar yang bersebelahan dengan kamar saya yang berisikan sembilan santri
pembantu ‘pekerja’ di pondok – yang sebenarnya saya sangat tidak suka, dan
malah menganggap itu dialog para ‘Islam Liberal’ saja.
Kebetulan di Jogja sendiri,
saya banyak punya teman yang dulu satu SMA – SMA Takhassus al-Qur’an ‘SMA TAQ’ –
yang lebih dulu mengikuti acara tersebut, Ahmad Majid, yang juga koplak anaknya.
Jiwa pemberontaknya sudah ada sejak di pondok dulu, ‘pemberontak’ disini adalah
individual yang mempunyai kesadaran akan lingkungan dan berani melawan untuk
kebaikan bersama, sebuah wujud keperdulian pada problems system of social
di tempat tinggalnya. Dalam pengamatan saya sendiri, hubungan kausalitasnya
adalah adanya ke-aku-an ‘pengakuan’ yang tidak seimbang, baik dari pengurus
pondok dengan santri biasa yang sudah
lama maupun pengurus pondok dengan yang santri yang baru.
Kembali pada tema awal, “Tak Ada Kangen Bagimu Dariku Untuk Hal Itu.”,
‘itu prinsip’. “Maksudnya?”. Berbagai peristiwa yang sudah berlangsung, baik
adanya masalah – baik-buruk – ataupun diluar kewenangan kita sebagai subyek
‘pelaku hidup’ – interaksi diri sendiri ‘individu’ dan subyek lain di luar kita
‘masyarakat’ – yang akhirnya menjadi ‘term’, ‘idiom’, ‘prinsip’, dan ‘asumsi’ dalam
hidup kita untuk membuat sejarah yang kemudian menjadi ‘takdir’ dari Tuhan
untuk kita dapat kita pahami. Bukan berarti sama sekali tidak ada ‘kangen’
dalam diri masing-masing individu – baik ‘mu-‘ku-ia-‘nya-kita-mereka – untuk
berperan langsung sebagai wujud meniadakan itu semua ‘nir-memori’. Jika
‘hal’-nya adalah kebaikan, mungkin baik saja untuk tidak dikangenin –
menetralisis sifat mengharap kebaikan dari ‘hal’ itu – sebaliknya, jika ‘hal’
keburukan wajib diarsipkan – sebagai bahan kajian dan pertobatan.
Melakukan dengan cepat, jelaslah, semua ingin melakukannya dan
tidak suka akan keter-tele-tele-an yang bertele-tele. Banyak sistem dalam suatu
lembaga yang membatasi ‘obyek’ dengan waktu ‘tertentu’, berjangka waktu, bentuk
pengaktualisasi pada ke-profesionalan ‘subyek’. Proses bergeneralisasi yang
meng-global sangat ketara meskipun ketransparannya masih dipertanyakan, tidak
semua elemen yang berperan di dalamnya dapat informasi yang akurat. Masih
adanya ‘aku’ yang bertendensi ‘nya-‘ku, dalam konteks ke-kanak-kanak-an, itu
skandal yang ‘porno’ apabila dipublikasikan. Proses kedewa-saannya dilakukan
dengan ‘santet’ yang terselubung – tidak ada pengetahuan kecuali yang
di-tahu-kan – untuk menjaga image ketokohan suatu lembaga.
Kalibeber, 06 April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar