Sabtu, 20 Mei 2017

Ibu Ajari Anakmu Menanak Nasib

Pada suatu senja, di kala mata ibu mulai ciut dan mengerut, mataku terpenjara di dalamnya. Di waktu petang, saat mata ibu mulai berbintang-bintang, aku menjadi kunang-kunang malang yang melayang. Saat subuh, ketika mata ibu mulai memanah harapan, aku menjadi layu dan tertusuk-tusuk cahayanya. mata bapak nun jauh di sana, menembus fatamorgana, menyayat akal dan alamat hatiku. Tubuh mulai tak berdaya, memikul doa dan harapan papa, hingga papalah gerak lakuku yang kaku menggenggam bisu mulut ini dari kata-kata yang tak bertuan.

Betapa tidak dan betapa iya diri ini menjadi mata mereka, gerak mereka. Lenyap keinginan yang tak sanggup ku mentuaninya. Oh gejolak kata, di mana kau dalam diriku yang menghilang?. Oh gelora gerak, di mana aku dalam dirimu yang menghilangkan diri?. Selidik kusidik mencari diri kita yang tak mampu tertaklukkan oleh kalimat rindu, mungkin kau ada?.

Atau aku yang tak sadar melupa pada luka-luka kalian yang tetap terbawa maju. Aku yang lalai pada keringat-keringat kalian yang menyirami bumi-bumi ini. Aku yang dzalim pada air mata kalian, yang tertumpah karena sifat kekanak-kanakkanku. Aku yang mungkin jika pantas dikutuk, kutuklah aku menjadi surgamu, biar bisa kalian tempati di kala letih dan lelah tua kalian. Jangan kalian kutuk aku menjadi nerakamu, yang menambah beban dalam tua kalian. bagaimanapun, aku tak mampu mengembalikan kebaikan kalian beserta bunga-bunganya. Kini, kunanti ampunan Tuhan dengan lega. Kini, kunanti sapaan kekasih Tuhan dengan senyuman. Tak tahu apakah aku masih pantas menerimanya, tetapi jika bukan pada mereka, pada siapa lagi kulabuhkan hati dan akal ini.


                                                                                                   Di Bilik Nyawa, 20 Mei 2017