Minggu, 31 Maret 2013

raja khauf "al Hikam" oleh Mbah A. Mustofa Bisri

Karena banyak yang bertanya, aku akan kulwitkan sedikit tentang kitab Al-Hikam yang kemarin aku khatamkan bersama santri2, insyaAllãh. Al-Hikam merupakan salah salah satu karya monumental Ibn ‘Athaillah As-Sakandary (Abul Fadhal Tajuddin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Karim bin ‘Athaillah; wafat tahun 709H). Al-Hikam merupakan mutiara-mutiara cemerlang bagi meningkatkan kesadaran spiritual, tidak hanya untuk para saalik dan murid-murid tasawuf, tapi juga untuk umumnya para peminat olah batin. Buku yang tidak terlalu tebal ini, tidak hanya dibaca dan didiskusikan tapi juga disyarahi oleh banyak ulama antara lain oleh sufi besar Ibnu ‘Ubad; Ibn ‘Ajiebah; Syeikh Syarqawi; Syeikh Syarnubi; dll. Bahkan seorang alim dari Faz, Syeikh Zarrouq (Ahmad bin Ahmad bin bin Muhammad Al-Faasi; 846-899H) yg kemana-mana membawa Al-Hikam, telah mensyarahi karya Ibn ‘Athaillah ini tidak kurang dari 30 syarah. Al-Hikam juga telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk ke dalam bahasa Indonesia dan Melayu. Dari keluargaku sendiri, pamanku Almarhum KH Misbah Mustofa sudah menerjemahkannya ke dalam bahasa Jawa; adik saya Almarhum KH Adib Bisri telah menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia; dan kakakku Almarhum KH Cholil Bisri juga membuat syarah dlm bahasa Indonesia yg diberi judul "Indahnya Bertasawuf."

 

WANITA CANTIK

Di tengah-tengah himpitan daging-daging doa
di pelataran rumahmu yang agung
aku mengalirkan diri dan ratapku
hingga terantuk pada dinding mustajab-Mu
menumpahkan luap pinta di dadaku
Ku baca segala yang bisa ku baca
dalam berbagai bahasa runduk hamba dari tahlil ke tasbih,
dari tasbih ke tahmid, dari tahmid ke takbir,
dari takbir ke istighfar, dari istighfar ke syukur,
dari syukur ke khauf, dari khauf ke raja, dari raja ke khauf
raja khauf
khauf raja
raja khauf
khauf raja
sampai tawakkal

Di samping bil-barakah, para pensyarah dan penterjemah itu pastilah mula2 terpikat oleh ungkapan2 istimewa Syeikh Ibn ‘Athaillah dan dan kandungan isinya yang dalam. Selama ini orang mungkin hanya mengenal aphorisma, ajaran yang dirumuskan secara singkat dan padat, melalui Peribahasa Sulaiman dalam Perjanjian Lama atau karangan2 Nietzsche; di kalangan kaum muslimin mungkin melalui Nahjul Burdah-nya sayyidina Ali karramaLlahu wajhah. Namun agaknya aphorisma Ibn ‘Athaillah ini memang lain. Berbeda dg kebanyakan ungkapan2 para sufi terkenal seperti Rabi’ah Al-‘Adawiyah; Rumi; ‘Atthar; dlsb – yg juga diminati oleh kalangan kalangan sastrawan di kita—umumnya orang hanya menganggap dan memperlakukan Al-Hikam ‘semata-mata’ sebagai karya tasawuf. 

Tiba-tiba sebelum benar-benar fana melela dari arah Multazam
seorang wanita cantik sekali
masya Allah tabarakAllah !
Allah, apa amalku jikak kurnia
apa dosaku jika coba ?
Allah, putih kulitnya dalam putih kerudungnya
Indah sekali alisnya
Indah sekali matanya
Indah sekali hidungnya
Indah sekali bibirnya
Dalam indah wajahMu

Banyak kiai sepuh –terutama dari kalangan thariqah—yg mengajarkan kitab ini kepada santri-santri tua. Dengan kata lain, Al-Hikam lebih diperlakukan sebagai kitab pelajaran akhlak dan tasawuf belaka. Padahal, paling tidak menurut saya, aphorisma Al-Hikam dari segi bahasanya pun luar biasa indah. Kata dan makna begitu padu, saling mendukung, melahirkan ungkapan2 yang menggetarkan. Ratusan hikmah (sekitar 284) yang indah diakhiri dengan munajat Syeikh ‘Athaillah yang juga sangat indah, merupakan untaian mutiara yang telah mempesona jutaan hamba pencari keindahan Sang Maha Indah. Utk sedikit memberi gambaran kpd Anda yg belum pernah membaca atau mendengar mutiara2 Al-Hikam, akan aku sampaikan 1 mutiara darinya. Bismillahirrahmaanirrahiim
من علامة الاعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل 
"Min ‘alaamatil i’timaadi ‘alal ‘amali nuqshaanur rajaa-i ‘inda wujuudiz zalali"
Termasuk tanda pengandalan pada amal ialah berkurangnya harapan ketika ada kesalahan. Kita dituntut beramal, namun untuk keselamatan dan kebahagiaan abadi kita, kita tidak boleh mengandalkan amal kita. Bahkan Nabi sendiri ketika ditanya apakah seorang mukmin bisa masuk sorga dg mengandalkan amal-ibadahnya, beliau menjawab tegas:"Tidak”. Bahkan beliau juga menegaskan “Walaa anaa illa an yataghammadaniyaLlahu birahmatiHi wamaghfiratiHi” (Tidak juga aku, kecuali Allah melimpahiku dengan rahmat dan ampunanNya).

Allahku, ku nikmati keindahan dalam keindahan
Di atas keindahan di bawah keindahan
Di kanan-kiri keindahan
Di tengah-tengah keindahan yang indah sekali
Allahku, inilah kerapuhanku ! tak kutanyakan kenapa
Engkau bertanya bukan ditanya kenapa
Tapi apa jawabku ?—ampunilah aku—tanyalah jua yang ku punya kini :
Allahku mukallafkah aku dalam keindahanMu ?  

Bagi kalangan sufi, mengandalkan amal merupakan sikap angkuh yang tidak bisa dimengerti. Pertama, karena hamba yang beramal tidak tahu pasti apakah amalnya diterima atau tidak oleh Allah; kedua, karena ia bisa beramal semata-mata karena Allah. Lagi pula biasanya orang yang mengandalkan amalnya, akan merasa puas diri dan mengecilkan sesamanya yang dipandangnya tidak atau kurang beramal seperti dia. Nah, apakah kita termasuk orang yang mengandalkan amal kita ataukah kita termasuk hamba yang tahu diri dan hanya mengandalkan Allah, syeikh Ibn ‘Athaillah memberi petunjuk mengenai tanda-tanda orang yang mengandalkan amalnya yakni antara lain: berkurangnya harapan (istilah tasawufnya: RAJÃA) orang yang beramal itu ketika dia berbuat kesalahan. RAJÃA, berharap kasihsayang dan fadhal Allah merupakan imbangan dari KHAUF, cemas atau khawatir akan hukuman dan Seorang hamba Allah, bagaimana pun keadaannya tdk boleh kehilangan RAJÃA. Karena kehilangan RAJÃA sama dg berburuk sangka trhdp Allah. Para ‘aarifiin, mereka yg makrifat kpd Allah, tdk pernah kehilangan RAJÃA; karena mereka tdk melihat apalagi mengandalkan amal mereka. 
"Wallahu a'lam bishswãb." Demikianlah; semoga ada manfaatnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar