Sabtu, 21 September 2013

Hmm Apa Ya?



Hmm Apa Ya?
Oleh: Legiran

Setelah membaca surat al-Hijr dalam al-Qur’an hati merasa tentram, kenapa tidak (?), dalam 99 ayat, ada satu ayat yang menegaskan bahwa “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (15:09). Wow… bukan basa-basi lagi rupanya Tuhan menjamin kitab yang satu ini, pertanyaannya, kenapa kita masih saja membacanya (?) jawabannya simple, jika bukan kita yang membaca, emang agama lain mau membacanya – sambil ketawa-ketiwi –, umpama mereka membaca, ya gak masalah – toh banyak yang mengakui ‘kebagusan’ bahasa di dalamnya, bukan. 
Sebagai surat cinta dari Tuhan – untuk muslim, jika yang non muslim punya kitab sendiri  – yang di situ diterangkan menjadi surat cintaNya untuk semua makhluk. Kenapa kalimat tadi bertentangan, “untuk muslim” kemudian ditutup “semua makhluk” dan di tengahnya ada “non muslim”. Santai saja, kita baca kitab mereka juga gak dimarahi oleh mereka, “gitu aja repot (!)”, “kata siapa (?)” hehe… indahnya, kebersamaan ini. Bagaimana mereka tidak baca – memakai mereka, sebab penulis juga tidak serajin yang pembaca sangka “rajin iqro’” –, sedangkan bacaan yang lain masih antri di tempatnya masing-masing – maklum suka baca-baca bacaan “komik”.
Aktualisasi bacaan ‘tekstual’ dan ‘kontekstual’ dalam surat cinta (al-Qur’an) kata beliau, KH. Mustofa Bisri – kyai plus budayawan, setahu penulis –, “semacam tamparan bagi para pembacanya” dan jika dikaitkan dengan kontekstualnya, melihat problematika yang ada, kemudian dikaitkan dengannya, hmm. Aduh, lama-lama menjadi sok suci nih penulis, bagaimana sok suci, emang kenyataannya  begitu – dalam kesadaran nalar dewasa sekarang ini. Kembali di surat al-Hijr, yang setelah googling, teman saya bilang bahwa itu nama sebuah gunung di Negeri Samud – hayo daerah mana? Tebak tempat. Dibaca sendiri-sendiri aja ya, bagus kok, entar ada ayat yang menjelaskan bagaimana Tuhan dengan Maha SombongNya melindungi rahasia gaib dan pemberian rezeki untuk semua makhluk.
Jika diperlebar lagi tentang mufasir – ahli tafsir dari zaman dulu sampai sekarang – masih saja ada penemuan-penemuan yang ada dan keluar jika benar-benar ditelaah dan berani mempublikasikan. Mereka para mufasir – sebagaimana yang sedikit penulis pelajari – harus ada kesepakatan bersama untuk menjaga agar tidak menjauh dari tujuan surat cinta diturunkan, bukan. Baik ‘pemetaan ayat’, tetang sosial, sains, hukum, dll yang kesemuanya menuju yang namanya “akhlakul karimah” Nabi Muhammad saw. jika di sini tempat kita belajar, ada al-magfurlah KH. Muntaha al-Hafidz. Soalnya, beliau saja masih menganggap belum atau masih jauh dari apa yang disandarkan oleh muslim zaman nabi saw. dan sahabat, yakni gelar “manusia al-Qur’an”, sebagaimana yang dituturkan oleh sayyidinah Aisyah ra.
Udah dulu ya, hmm, entar dimarahi ‘syair tanpa waton’-nya manusia aneh plus presiden aneh, Gus Dur, seperti bait, “koor pinter dongeng, nulis lan maca” (hanya pintar bercerita, menulis, dan membaca). Semoga bisa jadi koreksi bersama, okey… sebagai penutup, qola huwa, “mocoho walau sak ayat” (membacalah walaupun hanya satu ayat). Dan selentingan KH. Umar Zaed, “qulhu ae lek” (al-Ikhlas saja, man). Hmm… maaf jika salah… semoga kita – khususnya yang nyumbang wacana tulisan ini – selalu dalam rahmat dan ampunNya.

Wonosobo, 21 September 2013
Salam


pengetik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar