Jumat, 13 September 2013

INDONESIA DALAM KETIDAKPASTIAN, “PASTI TIDAK?”



INDONESIA DALAM KETIDAKPASTIAN, “PASTI TIDAK?”
Oleh: Legiran

Hukum dan pemilihan Presiden Republik Indonesia 2014 mendatang adalah isu miring yang di-nash-kan dalam memori setiap manusia di Indonesia, baik yang ‘aposteriori negaraisme’ ataupun yang ‘apriori negaraisme’ – lima tahun sekali itu terjadi, bahasa ‘necis’-nya, pesta demokrasi. Dalam twitter dan blogger penulis, sudah pernah menulis bahwa saya mendukung KH. A. Mustofa Bisri jadi Presiden RI – hal itu penulis sampaikan karena pernah mimpi demikian, sebab ada akun twitter Trio Macan yang populer menganalisis calon presiden, dan itu pakai bukti otentik – namun, tanggapan beliau malah, “mungkin Anda sedang pusing”. Penulis pun ngeyel sambil balas, “saya kira yang pusing bukan hanya saya.” Dan fenomenal tersebut menjadi perbincangan yang panjang, sampai-sampai PBNU mengadakan Rapat Pleno di kota penulis menetap, Wonosobo, untuk wilayah Jawa Tengah.
“multi-kemungkinan”, ‘kata ngawur’ yang penulis sampaikan kepada akun Sudjiwotejo – Ki Dalang yang sering nongol dengan massanya Presiden Jancuker – yang ternyata mendapat tanggapan ‘bocah caper’ alias anak yang cari perhatian. Kejadian itu berlangsung sebelum puasa kemaren, ya sekitar bulan Juni – kalo nggak salah – yang lalu. Alasan penulis simple, “mbok kalo cari presiden ya yang nggak kedun-yan (gila dunia)”, melihat hidup beliau sezaman dengan Presiden RI keempat yang ber-title  ‘KH’ (Kyai Haji). Masalahnya, mau milih Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) – budayawan plus penulis – , malah ‘urakan’ orangnya, jelas nir-minder penulis. Prediksi penulis, kalo zamannya KH. Abdurraman Wahid (Gus Dur) yang dibubarkan adalah Departemen Sosial, takutnya, Cak Nun (sapaan akrab Emha Ainun Nadjib) malah membubarkan Presiden Republik Indonesia – padahal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menganut Demokrasi Presidensial.
Wah, penulis mulai ngawur nih. Khasnya, calon presiden itu harus punya kendaraan partai untuk mengusung mereka, kalo nggak punya kendaraan mbok diajukan secara voting, temanya, Presiden Ad-hock – seperti teater Cak Nun, Nabi Ad-Hock. Nah, inilah yang namanya membicarakan “mantan” itu menyakitkan, sebab – alasan populer di remaja – slogan “mantan buang pada tempatnya” – bergambar tempat sampah, ironis sekali. Ya udah, penulis tinggal cemes aja pakai istilah, “JASMERAH”, Jangan Lupakan Sejarah – coba bayangkan jika Cak Nun dan Gus Mus jadi Presiden dan Wakil Presiden! Penulis jamin, zaman Reformasi Negaraisme “pasti” sedikit reformis lagi dibandingkan reformasi sebelumnya – itu jika kita berdoa semua, dan membantu. Caranya? Jangan tanya penulis, dong, ‘kan belum jadi sarjana, jadi, belum ada “nilai kepastian” yang bertentangan dengan “ketidakpastian”. Kuliahnya jurusan Hukum Islam, Ahwalus Sahsyiah, bagian “perkawinan” namun, masih jomblo.
  Apologi awam anak bodoh seperti penulis ini, mereka berdua itu sudah bosan hidup “kangen pada Sang Pencipta”, kapan lagi kita yang muda-muda punya ‘mimpi indah’ menikmati negara damai – buat referensi dan uswah kami yang mungkin duluan ‘banyak pengkhayal’ alias ‘mayat hidup’ atau zombei (orang bodoh itu ibarat mayat hidup – kata pepatah kuno). Sedangkan masalah “hukum”, ‘kan sudah ada Indonesia Lawyer Club (ILC), ditambah Perguruan Tinggi Hukum dimana-mana sudah banyak meluluskan sarjana hukum, bukan. Dan lagi, di dunia ini tidak hanya ada satu negara, masak kerja keras Gus Dur tidak diteruskan – siapa yang tidak tahu Presiden Pelancong Manca Negara yang hanya sebentar jadi Presiden tapi berani mengata-ngatain atau menyetempel D-PR M-PR seperti Taman Kanak-Kanak (TK). Mereka berdua – menurut penulis – sedang malu-malu kucing, bahasa orang tua, tawadu’ (rendah hati) – dan jika ditanya siapa yang pantas jadi Presiden, mereka serentak jawab, “yang muda”.

Wonosobo, 13 September 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar