Kamis, 23 Februari 2017

PENGANGGURAN



Tunawisma, adalah idiom yang mengatakan bahwa ada ‘gembel’, ‘pengangguran’, ‘gelandangan’, dan ‘sampah masyarakat’, benar begitu? Kalo di perkotaan yang banyak membutuhkan tenaga kerja dan sibuk, itu hal yang wajar dikatakan seperti itu – manusia yang keluar dari konteks sibuk bekerja dan berkarya – namun, jika di ‘desa’ ada ‘pengangguran’ itu pertanyaan besar? Apalagi seorang lulusan universitas. Bisa jadi dia ‘gengsi’ menjadi masyarakat desa? Apabila umumnya bertani, mengolah tanah sendiri (kebun atau sawah) atau menjadi buruhnya pemilik tanah, mau tidak mau ia harus menjadi salah satu dari mereka, bukan?
Dan sistem kekerabatan yang begitu kental menjadi salah satu jalan untuk menjadi relasi dalam bekerja. Umur 25 tahun adalah pemuda-pemudi yang sudah seharusnya menjalani kekeluargaan. Ia lulus kuliah tanpa nyambi kerja sudah menginjak umur 27 tahun, minimnya skil dalam bermasyarakat dan berimprovisasi akan kreatifitas bekerja dan bekarya merupakan ‘hantu’ yang menakutkan. Kalo mencukupi dirinya sendiri bisa baik-baik saja, tetapi ia mempuyai kewajiban menjadi ‘manusia sosial’, dengan diri sendiri, keluarga, kerabat, tetangga, dan pemerintahan. Ia lagi fokus dengan ‘kepenganggurannya’, dengan prinsip tidak mengganggu yang lain dan menyalahi lainnya. Individu yang mendekati egois, itu bukan ‘nafas kehidupan’ desa.
Biasanya, jika ‘belum menikah’ ia belum dikenai ‘ikatan perjanjian tak tertulis’ dalam masyarakat seperti, kondangan, muyen, mengurus kematian, dan sebagainya, namun mempunyai andil menjadi pembantu (pelayan atau sukarelawan) jika ada suatu hajatan di masyarakat khususnya dengan kerabat dekatnya. Kalo tidak begitu, biasanya merantau menjadi tradisi pemuda desa. Jika ia tidak mempunyai ‘modal lahan’ dan ‘modal uang’ untuk menjadi syarat atau alat untuk ber-tetekbengek. Semacam itu juga untuk interaksi dengan sepupu, adik-adik, keponakan yang statusnya mereka masih sekolah, bahasa lumrahnya adalah ‘ngasih sangu’ buat jajan mereka. Sebab dulu orang tua mereka juga melakukan hal semacam itu pada kita ketika kita masih kanak-kanak.
Pangangguran ini untuk melakukan semacam itu ‘materi’ berupa ‘uang’ mungkin sangat sulit, jika ia juga ‘pemuda boros’. Lebih besar pasak daripada tiang. Ditambah ‘malas’ membantu kerabat, dalam hal merawat lahan atau rumah – modal tanaga dan keikhlasan – tanpa bergaji merupakan ‘tabungan’ masa tua. Juga termasuk menjadi tempat kita menambah keahlian kolektif. Kita sedang membicarakn ‘pemuda’ – jejaka desa, bukan ‘pemudi’ – perawan desa – yang biasanya hanya menunggu pinangan seorang yang berani dan membuat tertarik ia untuk bersama berkeluarga memisahkan diri dari orang tua mereka masing-masing. Skill dan ketrampilan pemuda menjadi modal utama untuk menarik ‘pemudi desa’, baik dalam segi masyarakat yang hubungannya vertikal maupun horizontal – kesolehan social dan kesolehan individu – untuk menjamin ketentramannya.
Kenapa hanya kesadaran akal bukan kesadaran real? Cuma sadar tetapi tidak teraplikasikan dalam kenyataan. Ah, kenapa begini? Maaf Tuhan, saya belum mampu menjadi apa yang Engkau sukai, masih belum mampu bersyukur sebaik-baikya syukur, masih belum mampu bersabar sebaik-baiknya sabar. Assalamu ‘alaika ya makarimal akhlak, ngapunten tansah ngisin-ngisinke panjenengan 
10 Maulud 1438/ 10 Desember 201

Tidak ada komentar:

Posting Komentar