Kamis, 18 April 2013

Kaya Buat Orang Lain



Kaya Buat Orang Lain
Oleh: Legiran

Dalam dunia bersosial ini – terserah pemetaannya mau pakai petanya siapa dan model apa – akan mengenal yang namanya dominasi-dominasi untuk menjadi ink dalam lembaran ‘kertas sejarah’. Pendeskripsian tokoh adalah ‘mutlak’ – menjadi keharusan – yang mesti ada, bahkan dalam pewayangan, fabel, dan kitab suci pun begitu. Jika dalam simbolis yang ada di goa-goa dan bebatuan – zaman purbakala – mereka menjadi ‘batu’ dan ‘warna-warna’ untuk menggores ‘muka’ di atas permukaan tentang tokoh pula. Fenomena ini adalah merupakan “sistematik nalar” pada penciptaan manusia atas rencana Tuhan untuk ‘disertasi’ pencapain gelar ‘Doktor manusia semesta’ – melihat manusia majemuk dikhususkan ke tokoh (dalam sejarah), saya mengkodifikasipreferensikan bahwa kesimpulannya adalah penokohan itu semacam dialektika pembentukan “manusia ideal”.
  Laqad khalaqnal insaana fii ahsani taqwiim, (sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.) – dalam al-qur’an disimbolkan atau dilabeli sebuah ‘buah tin’, melihat ‘ketassawufan umum’ bahwa analogi tauhid pada sebuah ‘pohon’ buah adalah aplikasi dari “akar, batang, dan daun” (iman, syariat, dan ihsan).  Bagaimana dengan cabang-cabang – ranting-ranting yang dijadikan bertengger buah – yang berkotak-kotak, berkota-kota, berpartai-partai, berbani-bani, berbangsa-bangsa, dan sebagainya? Siklus analisa keputusan untuk menguatkan bahwa gelar ‘Doktor manusia semesta’ yang ideal – dalam “Analisa Keputusan”, Dr. Ir. Kuntoro Mangkusubroto, MSc dan Ir. C. Listiarini Trisnadi, hlm 30. Memakai:
Gambar 1

Dalam gambar di atas hanya digunakan dalam “manajemen usaha dan proyek” saja, namun saya ingin meminjamnya untuk analisa dalam “manajemen membentuk manusia semesta”. Saya juga sedikit menelisik gaya “Antropologi Kiai”, ditulis KH. Abdurraman Wahid dalam buku “Kiai Nyentrik Membela Pemerintah” yang ciri khasnya “tokoh lokal” itu mempunyai cara tersendiri untuk menyambungkan tali-tali yang terputus oleh ‘paradigma awam’ – refleksitas justifikasi bahwa yang ‘tidak sepaham’ dianggap salah dan bersebrangan –  yang cenderung sinis dengan rencana Tuhan lewat  “sistematik nalar” manusia.
Kemudian melihat mitos akan fenomena alam – jawa yang me-wanti-wanti (memperhatikan) hubungan di ‘antara’ perpindahan waktu (malam-pagi, sore-malam), asumsi waktu surup setan-setan sedang berkeliaran “menekankan pada ‘penghubung’ cahaya dan gelap”  – yang relevan dengan islam memberi ‘area bebas’ untuk jeda ‘praying free’ (jawa – prei sembayang) – haram untuk melakukan shalat pada waktu itu (keluar dari ‘pengecualian’), namun ditekankan untuk berzikir “mengingat Allah dengan berkumpul bersama manusia lain”.
Analogi yang biasa saya alami saat mengamati, kekuatan pancaran "cahaya" dan kepekatan "kegelapan",  contoh: lilin-gelap-matahari; senja-malam-pagi. Yang penulis anggap istimewa adalah di "jeda/setrip/penghubung" dan "antara/tengah" dalam kedua analogi tersebut. Bukan bahas atau mempertanyakan "wali Allah" dan "wali Iblis" yang mempunyai keistimewaan yang sudah-sudah. Kita berdialektika dengan kebodohan kita yang bergeneralisasi dan bukan tentang "komunisme" atau "Marxisme", kita bahas "emboh" 'jawa' – “au ah gelap”, jawaban populer saat ini di kaum muda. Kesemuanya itu, dari pengalaman akan ketakutan kita 'santri' dan 'jawa' yang wajib menghormati pada yang dianggap-teranggap "lebih" dalam interaksi sosial bertingkat atau berkelas.
Tema “Kaya Buat Orang Lain” dimaksudkan untuk memunculkan ‘kesadaran’ bahwa ‘kekayaan’ kita bukan untuk diri sendiri namun, sebagian untuk kebersamaan. Saya ber-khusnudzon kepada Tuhan, jika Dia memerintahkan kita – muslim – berzakat, sepertinya agak ‘merendahkan diri’, kok begitu? Jelasnya, Maha Kaya, Maha Memelihara, Maha Memberi, Maha Menanggung Makhluk, dan maha-maha Kesempurnaan lainnya. Berarti, jika kita berasumsi bahwa manusia itu maha egois, maha kikir, maha pelit, dan maha-maha individualisme yang bertentangan dengan teori zoon politicon sudah diantisipasi olehNya, Sang Maha Individualis Sejati, qiyamuhu binafsihi dan wahdaaniyah.
Kekayaan dalam perspektif  harta, cahaya “kharisma”, dan ilmu yang mengkristal menjadi ‘tokoh’ sebenarnya harus dilakukan ‘penyulingan’, supaya semua manusia dapat bermanfaat. Sehingga gelar ‘Doktor Manusia semesta’ dapat diperoleh untuk mewujudkan visi misi Tuhan dalam menciptakan manusia – sebaik-baiknya bentuk penciptaanNya.
Gambar 2
Coba berimajinasi dan menganalisis gambar di atas dengan memakai pendekatan: sumber adalah Tuhan, pengedapan 'batu kali' adalah manusia, penyuling adalah sistematik nalar (air limbah adalah sifat jahat, ijuk 1 adalah intropeksi sosial, pasir halus 1 adalah kerendahan hati,  ijuk 2 adalah intropeksi individu, pasir halus 2 adalah khusnudzon “prasangka baik”, arang tempurung kelapa adalah pelepasan baju ketokohan, kerikil adalah spontanitas atau refleksitas sosial, batu adalah membangun bangunan sosial, dan bak penampung adalah pengarsipan dari kesemuannya. Analogi tersebut sudah dicontohkan oleh ‘Doktor Manusia Semesta’ sejati, beliau Nabi Muhammad – kekasih Allah, kekasih alam, dan kekasih manusia.  

Wonosobo, 18 April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar